obesitas anak di indonesia tinggi

Obesitas Anak di Indonesia Tinggi, 61% Anak Konsumsi Minuman Manis >1 Kali Sehari

Kasus bayi obesitas di Bekasi membuka fakta menarik bahwa obesitas anak di Indonesia tinggi. Kebiasaan mengonsumsi minuman manis sejak dini, dan kurang aktivitas fisik adalah dua faktor penyebabnya. 

Sebagaimana diketahui beberapa waktu lalu Muhammad Kenzi Alfaro, bayi berusia 16 bulan di Bekasi ini menyedot perhatian publik, karena memiliki bobot hingga 27 kg, dikategorikan mengalami obesitas. 

Sejak lahir Kenzi diberi susu formula, bahkan sempat mendapatkan susu kental manis (sangat tinggi gula). Ia tidak mendapat ASI sama sakali. Alhasil, walau lahir dengan berat badan normal, bobot tubuhnya naik drastis. 

Kenzi, hanyalah satu dari sekian banyak kasus obesitas anak di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan RI menyatakan terjadi peningkatan prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas pada anak dan ramaja (usia 5 -19 tahun). 

“Meningkat hingga dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir,” ujar dr. Eva Susanti, SKp, MKes, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM), Kementerian Kesehatan RI. 

Kasus berat badan berlebih naik dari 8.6% pada 2006, menjadi 15.4 pada 2016. Sementara obesitas dari 2.8% pada 2006, menjadi 6.1% pada 2016. 

Anak-anak dan remaja obesitas berisiko lima kali lebih tinggi mengalami obesitas di masa dewasa yang berpotensi menderita penyakit tidak menular, seperti diabetes, hipertensi, hiperkolesterolemia, bahkan penyakit jantung dan stroke. 

Tingginya kasus berat badan berlebih dan obesitas anak di Indonesia sejalan dengan data bila “Masyarakat Indonesia senang minuman manis,” dr. Eva menjelaskan dalam peringatan Hari Obesitas Sedunia yang diselenggarakan Nutrifood, Rabu (1/3/2023). 

Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018 mencatat 61,27% penduduk usia > 3 tahun mengonsumsi minuman manis lebih dari sekali per hari. Dan, 30,22% minum minuman manis 1-6 kali per minggu.

Bahkan, 6,2% anak usia 0-4 tahun mengonsumsi gula lebih dari rekomendasi (<50 gram/hari atau 4 sendok makan). Pada kelompok usia 5-18 tahun konsumsi gula >50 gram/hari antara 4,4 – 4,8%. 

“Penduduk usia di bawah 10 tahun kurang aktivitas fisik tapi konsumsi gulanya tinggi. Masyarakat kita tidak terlalu suka sayur dan olahraga, tetapi suka makan banyak. Jadi kemungkinan kena obesitas tinggi,” terang dr. Eva. 

Skiring obesitas

Fakta bila obesitas anak di Indonesia tinggi membutuhkan upaya penanggulangan. Pencegahan obesitas dilakukan dengan skrining.  

Dr. Marya Haryono, MGizi, SpGK, FINEM, menjelaskan untuk bayi dan anak yang lebih kecil (usia 1-2 tahun) dilakukan pemeriksaan berat dan tinggi badan. Kemudian memasukkannya ke dalam grafik tumbuh kembang (ada di dalam Buku Ibu dan Anak/ KIA; biasanya disertai pengukuran lingkar kepala). 

“Grafik itu harus kelihatan trennya naik atau turun, atau dalam garis yang wajar,” kata dr. Marya. “Begitu masuk usia sekolah tetap harus ukur berat badan dan tingginya.”

Membaca tabel kemasan

Pencegahan obesitas anak dan remaja dimulai dari konsumsi makanan dengan sayuran sebesar 2 kali lipat jumlah karbohidrat dan protein.

“Jangan lupa untuk memilih makanan dan minuman yang tinggi protein karena bisa menjadi sumber energi bagi tubuh anak dan remaja yang memiliki banyak aktivitas,” kata dr. Marya. 

Kemudian perhatikan label kemasan sebelum membeli makanan/minuman kemasan, guna membatasi asupan gula, garam, lemak. 

Salah satu cara gampang memilih pangan olahan adalah dengan memperhatikan ada tidaknya logo “Pilihan Lebih Sehat” yang tertera dalam kemasan. 

Logo “Pilihan Lebih Sehat” tersebut menandakan pangan olahan memenuhi kriteria kandungan gula, garam, lemak dan / zat gizi lainnya. Namun perlu diingat: bijaklah dalam mengonsumsinya, jangan berlebihan. (jie)