Mari Bicara Seks dengan Anak | OTC Digest

Mari Bicara Seks dengan Anak

Penelitian pada 2013 menemukan, 7 dari 10 remaja menganggap berhubungan seksual satu kali tidak akan hamil. Ini menunjukkan minimnya pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi dan seksual. “Umumnya remaja malu bertanya, sehingga informasi yang didapat kurang tepat. Informasi dari teman atau internet  lebih banyak konten pornografinya,” ujar Usep Solehudin, Sekretaris Yayasan Pelita Ilmu dan Ahli Kesehatan Masyarakat, dalan peluncuran buklet Sexual Health Training, Safety can be Fun di Jakarta, 7 Maret 2017. Buklet ini hasil kerjasama DKT dengan Yayasan Pelita Ilmu.

Aturan norma dan tabu sering menciptakan “tembok” antara orangtua/guru dan remaja bicara soal kesehatan reproduksi. “Mereka merasa tidak nyaman karena yang diutarakan ‘jangan’ terus,” imbuh Usep.

Riset DKT menunjukkan hasil serupa. Meski pendidikan seksual dan reproduksi penting, remaja merasa tidak nyaman membicarakannya dengan orangtua. “Sebaliknya, orangtua bingung atau tidak tahu bagaimana pendekatan yang tepat,” ujar Sutan Musa, Brand Manager DKT Indonesia.

Buklet terbitan DKT bisa menjadi pintu masuk untuk membuka komunikasi dengan anak. Di buklet ada beberapa poin tentang pendidikan reproduksi dan seksual. Antara lain mengenai organ reproduksi, perubahan fisik dan emosional, hingga pacaran sehat. Buklet dikemas dengan gaya bahasa santai dan mudah dicerna, sehingga mudah dijadikan obrolan ke anak, tanpa rasa tabu. Buklet bisa diunduh di: http://dktindonesia.org/sexual-health-training-booklet.php.

Isi buklet terbilang sederhana, tapi cukup memberikan poin-poin penting dengna info yang akurat bagi orangtua untuk membantu anak. “Terserah orangtua, poin mana yang mau diomongin; tidak harus dari halaman satu. Sesuaikan dengan kondisi anak, karena kebutuhan tiap anak berbeda. Yang penting orangtua bisa menjadi sumber terpercaya untuk anak,” ucap Pierre Frederick, Deputy General Manager DKT Indonesia.

Idealnya, kesehatan seksual dan reproduksi sudah dibicarakan sejak kecil. Namun tidak ada kata terlambat. “Perlu pendekatan berbeda. Lakukan komunikasi terbuka. Mulailah ngobrol dengan anak tentang apa saja. Buat anak nyaman berbicara dengan orangtua, tanpa takut dimarahi atau diledek. Biarkan ia bercerita, jangan langsung dihakimi,” tutur Usep. (nid)