Perawakan pendek merupakan salah satu keluhan tersering yang membuat anak dibawa ke spesialis anak. Anak pendek diidentikan dengan stunting, padahal perawakan pendek bisa saja akibat keturunan. Bagaimana membedakan antara stunting dengan perawakan pendek?
WHO mencatat sekitar 35,6% (7,8 juta) anak di Indonesia mengalami stunting. Stunting bukan pendek biasa, namun berpengaruh pada masa depan anak. Menurunkan kecerdasan (IQ) 11 poin, risiko meninggal usia muda 4 kali lebih tinggi, dan pendapatannya saat dewasa berkurang 22%, dibanding anak tidak stunting.
Baca juga : Terancamnya Masa Depan Anak Gara-Gara “Stunting”
“Anak stunting harus disebabkan karena malnutrisi atau infeksi penyakit, terutama dalam dua tahun pertama kehidupan,” kata Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, SpA(K), FAAP, ahli endokrinologi anak yang juga adalah Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Menurut Donna M Denno, John H Himes, dkk., ada beragam faktor yang menyebabkan stunting, seperti gangguan insulin-like growth factor / IGF di masa kehamilan; berperan dalam metabolisme, pertumbuhan sel, perkembangan otot, dan pencegahan kematian seluler pada janin. Juga akibat faktor kemiskinan, kekurangan mikronutrisi, infeksi, dll. Hal tersebut menyebabkan perlambatan pertumbuhan dan/atau kenaikan berat badan kurang.
Malnutrisi adalah salah satu penyebab anak pendek, dan salah satu penyebab langsung stunting. Stunting terjadi pada usia < 5 tahun. Namun tidak semua anak pendek karena malnutrisi.
Perlu dipahami adalah anak dengan perawakan pendek bisa dikategorikan sehat (normal) atau ada gangguan (gagal tumbuh), misalnya kekurangan hormon pertumbuhan (growth hormone deficiency).
Dikatakan memiliki pertumbuhan normal jika sesuai dengan grafik di kurva pertumbuhan; dalam buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak). “Termasuk kategori pendek normal jika anak berasal dari orangtua yang juga pendek. Juga grafik kurva pertumbuhan naik terus,” jelas dr. Aman dalam seminar bertema Edukasi Mengenai Defisiensi Hormon Pertumbungah dan Dampaknya Terhadap Tumbuh Kembang Anak, di Jakarta (26/7/2018).
Pertumbuhan secara normal dipengaruhi oleh faktor genetik, nutrisi dan hormonal (hormon pertumbuhan, tiroid, steroid seks dan glukokortiroid). Juga termasuk faktor psikososial. Anak dengan perawakan pendek normal dikategorikan sebagai sehat.
Sementara dianggap gagal tumbuh jika grafik dalam kurva pertumbuhan (dalam buku KIA) turun atau konstan. Penyakit akut atau kronis diketahui dapat menyebabkan anak tumbuh dengan lambat.
Terapi untuk anak pendek
Hal utama adalah mengetahui penyebab anak pendek, akibat masalah genetik atau lainnya. Kedua dilakukan pemeriksaan fisik, kemudian disesuaikan dengan kurva pertumbuhan. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti, bone age dan evaluasi laboratories, dilakukan sesuai kebutuhan.
“Anak pendek yang kurus perlu tambahan nutrisi. Sementara pendek normal atau gemuk tidak membutuhkan intervensi nutrisi, karena justru berisiko membuatnya obesitas,” imbuh dr. Aman.
Sementara anak pendek akibat kekurangan hormon pertumbuhan umumnya mereka mengalami keterlambatan pertumbuhan hingga 2 inci (5,08 cm) per tahun, dan telihat lebih gemuk atau lebih muda untuk usianya.
Terkait kekurangan hormon pertumbuhan, disebabkan oleh kelenjar pitutiari (kelenjar kecil di otak) tidak cukup menghasilkan hormon pertumbuhan. Penyebabnya bisa karena kelainan di kelenjar pitutiari, atau kelainan genetik.
Terapi pemberian hormon pengganti dapat mengoreksi tinggi anak sesuai usia.”Semakin cepat dikoreksi semakin baik hasilnya. Terapi yang dilakukan usia remaja tetap bisa mengoreksi tinggi anak, tapi tidak akan sebaik jika terapi dilakukan usia 3-4 tahun,” kata dr. Aman. Terapi hormon dilakukan sebelum tulang menutup, sekitar sebelum akhir masa remaja (usia 16-17 tahun). (jie)