Anak Sering Ngompol, Waspadai Diabetes | OTC Digest

Anak Sering Ngompol, Waspadai Diabetes

“Badan sih rasanya biasa saja, tapi kalau malam sering ngompol.”

Kalimat tersebut diucapkan oleh Fulki Baharuddin Prihandoko (12 tahun), seorang penyandang diabetes melitus tipe 1(DM1). Uki (demikian ia biasa disapa) terdiagnosa diabetes sejak usia 9 tahun, saat masih kelas 4 SD.

Gejala diabetes seperti sering haus, ngompol, luka sulit sembuh, gatal-gatal dan badan cenderung kurus sebetulnya mulai muncul saat ia kelas 2 SD, namun orangtua belum tidak menyadarinya. “Sempat ke dokter untuk ngompolnya, dan diberi obat anti-ngompol. Tapi setelah obat habis ngompol lagi. Saya perhatikan di kamar mandi banyak semut, dan lantainya lengket,” papar Aisyah Rahman, sang ibu.

Merasa ada yang salah, kedua orangtua membawa Uki ke dokter, dan periksa gula darah. Mengejutkan kadar glukosa Uki waktu itu adalah 750 mg/dl, dengan nilai HbA1c 17,6%. HbA1c (hemoglobin glikosilasi) adalah nilai kadar gula darah rata-rata dalam sel darah merah. Nilai normal HbA1c (non diabetes) antara 4-5,6%, HbA1c antara 5,7-6,4% mengindikasikan prediabetes. Dan HbA1c  > 6,5% tergolong diabetes.   

“Saya sempat menyalahkan diri sendiri. Apakah Uki kena diabetes dari pola makan sehari-hari,” kenang Aisyah. Sebagai informasi baik Aisyah ataupun suami, Konang Prihandoko, tidak menderita diabetes. Sejak terdiagnosa diabetes tipe 1, Uki harus periksa gula darah dan suntik insulin tiap hari. Dietnya pun diatur ketat.

Bercermin dari kasus Uki, diabetes bisa terjadi pada anak-anak, bahkan bayi. “80% diabetes anak adalah tipe 1,” terang Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, SpA(K), FAAP, Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).  “Yang mengejutkan adalah dalam periode 10 tahun terakhir, kejadian diabetes anak meningkat hingga 700%”.

International Diabetes Federation (IDF) tahun 2015 menyatakan sekitar 1.106.500 anak usia 0-19 tahun di seluruh dunia menderita diabetes tipe 1. Kondisi di Indonesia , menurut Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2013 diperkirakan kejadian DM1 sekitar 0,3 per 100.000 anak/tahun, atau 240 kasus baru / tahun. Terjadi peningkatan drastis kasus DM1 anak dari, 156 (tahun 2009) menjadi  1038 (tahun 2015).

IDAI mencatat, usia terbanyak anak terdiagnosis diabetes tipe 1 antara 10-14 tahun (403 orang). Namun begitu sejumlah anak terdiagnosa sejak  usia 0-4 tahun (146 anak) dan 5-9 tahun (275 anak).

Diabetes tipe 1 merupakan penyakit kelainan autoimun, bukan karena keturunan. Terjadi kerusakan sel β pankreas yang menyebabkan tubuh kekurangan insulin secara permanen. Normalnya ketika kita makan, pankreas melepaskan hormon insulin yang mengubah glukosa menjadi energi. Hormon ini juga membantu tubuh menyimpan energi.

“Segala macam hal yang menyebabkan autoimun, seperti infeksi Coxsackievirus B (CVB), virus polio, atau defisiensi vitamin D akan meningkatkan risiko menjadi DM1. Pada bayi, murni karena masalah genetik, bukan karena keturunan,” papar dr. Aman dalam seminar bertema Anak Juga Bisa Diabetes, di gedung Kementerian Kesehatan RI, pada 31/10/2018.

Sayangnya sebagian besar (72%) kasus diabetes anak diketahui saat anak mengalami kondisi koma diabetik / ketoasidosis diabetik (KAD) di rumah sakit. KAD merupakan salah satu komplikasi yang bisa berakibat kematian.

Kekurang insulin menyebabkan tubuh tidak bisa mengolah glukosa. Sebagai gantinya, tubuh akan membakar lemak sebagai sumber energi. Metabolisme lemak akan menghasilkan senyawa asam (keton), yang akan berbahaya bila dalam jumlah banyak.

Salah satu cirri khas KAD pada orang dewasa adalah napas berbau seperti pembersih kutek (aseton). “Tapi KAD pada anak bau keton belum keluar, namun kondisinya sudah parah. Gejalanya seperti sesak napas, sakit perut yang sering dianggap sebagai asma atau usus buntu,” terang dr. Aman.

Gejala ketoasidosis lainnya antara lain frekuensi buang air kecil meningkat, kelelahan, mual dan muntah, napas cepat dan dalam, linglung, penurunan kesadaran hingga koma.

Orangtua seyogyanya curiga diabetes jika anak mereka terlihat banyak makan, sering minum dan kerap kencing / ngompol. “Atau bila anak masuk IGD, pikirkan periksa gula darah. Jika gula darah >300mg/dl segera cek keton, dan bila keton darah positif langsung beri insulin sebelum terjadi ketoasidosis ,” imbuhnya. Bentuk komplikasi lain yang berbahaya adalah serangan jantung, gagal ginjal dan kebutaan.

Gejala khas diabetes

Seperti halnya tanda-tanda pada orang dewasa, diabetes anak juga menunjukkan gejala khas seperti:

  • Banyak makan. Anak dengan diabetes akan merasa lapar terus-menerus, meski baru selesai makan. Rasa lapar ini disebabkan oleh jumlah insulin yang tidak memadai, sehingga gula tidak dapat diolah menjadi energi; selnya kelaparan.
  • Banyak kencing/ngompol. Saat kadar gula tinggi (dan tidak bisa diolah tubuh) akan dikeluarkan oleh ginjal bersama urine. Hal ini menyebabkan urine menjadi kental. Sehingga membutuhkan air dari dalam tubuh untuk mengencerkannya.
  • Banyak minum. Tubuh menjadi dehidrasi akibat banyak kencing. Salah satu tanda dehidrasi adalah rasa haus.
  • Berat badan turun drastis. Walaupun anak sering makan, tetapi tubuh tidak bertambah gemuk, karena tubuh tidak mampu menyerap gula yang masuk dari makanan. Sebagai gantinya tubuh akan membakar lemak sebagai sumber energinya.  

Dapat hidup normal

Diabetes adalah penyakit tidak menular yang tidak dapat disembuhkan. Pengobatan diabetes tipe 1 adalah memberikan insulin pengganti, tiap hari, seumur hidup.

Target gula darah yang ingin dicapai antara 100 – 200 mg/dl. Caranya dengan mengatur pola makan, cek gula darah dan suntik insulin rutin tiap hari, olahraga teratur dan cukup istirahat.

Penting bagi orangtua / penderita untuk mengetahui jumlah asupan kalori harian. Dr. Aman menambahkan, tidak ada pantangan makanan selain membatasi asupan karbohidrat.  

“Ia boleh makan apa saja. Misalnya anak usia 10 tahun dengan kebutuhan kalori 2000 kal/ hari. Dari jumlah tersebut yang dihitung karbohidratnya, maksimal sekitar 250 gr. Protein dan lemaknya terserah dia mau makan.   

“Kebutuhan satu unit insulin untuk 10gr karbohidrat. Jika ia makan di ultah teman, ditambah pizza. Nah kita ajarin berapa karbohidrat dalam pizza tersebut, tambah insulinnya,” katanya.  

Saat gula darah terkontrol, anak penderita diabetes tetap bisa hidup normal. Ini pula yang dialami Uki, dimulai dengan cek gula darah setelah bangun tidur, makan sesuai jadwal (3 kali makan besar, 2 kali snack) dan suntik insulin (termasuk menyuntik insulin sendiri di sekolah) teratur.  

Tahun lalu bungsu dari 3 bersaudara ini tetap bisa puasa serta menjalankan ibadah Umroh, dan dalam waktu dekat, Uki akan ikut kegiatan jambore di Australia. (jie)