Diare masih menjadi salah satu gangguan pencernaan yang paling banyak terjadi di Indonesia. Berdasarkan Rapid Survey Diare (2015), insiden diare semua umur secara nasional yaitu 270/1.000 penduduk, dengan kejadian paling banyak pada kelompok anak-anak. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018), prevalensi diare pada anak <1 tahun yaitu 9%; usia 5-14 tahun 6,2%; dan yang terbanyak usia 1-4 tahun (11,5%).
Pada orang dewasa normal, diare mungkin tidak menyebabkan dampak yang serius. Namun lain ceritanya bila diare dialami oleh ibu hamil dan bayi/anak.
Diare pada Ibu Hamil
Dampak diare antara lain: dehidrasi (ringan hingga berat), perut terasa tidak nyaman sehingga asupan makanan berkurang, hingga mual dan rasa tidak nyaman. “Jika berkelanjutan, akan menyebabkan malnutrisi. Ibu hamil jangan sampai kena diare,” tegas Fitri Hudayani, SST, S.Gz, MKM, Kasub Administrasi dan Penjaminan Mutu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Ia menjelaskan, pertumbuhan janin membutuhkan asupan gizi yang adekuat. “Bila ibu hamil diare, ibu bisa mengalami dehidrasi, yang bisa memengaruhi pertumbuhan janin dan cairan ketuban,” jelasnya.
Link Setifikat Webinar 15 April 2023
Selain itu, juga bisa timbul mual bahkan muntah akibat diare, yang akan mengurangi asupan gizi ibu. “Jadi selain kehilangan cairan, ibu pun berisiko kehilangan zat gizi lainnya,” imbuh Fitri, dalam webinar bertajuk Terapi Gizi untuk Diare yang diselenggarakan oleh OTC Digest bekerjasama dengan PT Yakult Indonesia Persada, Sabtu (15/4/2023).
Di samping penyebab diare umum yaitu makanan/minuman yang terkontaminasi patogen, diare pada ibu hamil juga bisa disebabkan oleh kondisi fisiologis kehamilan. “Misalnya peningkatan prostaglandin, yang membuat gerakan usus jadi lebih cepat sehingga tinja akan melalui usus lebih cepat. Ini sering terjadi pada kehamilan muda,” ujarnya. Saat hamil, beberapa perempuan jadi lebih sensitif terhadap makanan tertentu hingga menjadi kembung.
Penyebab lain, perubahan pola makan karena ibu ingin memenuhi kebutuhan gizi secara agresif. “Konsumsi beberapa jenis suplemen vitamin juga bisa memicu diare,” imbuh Fitri.
Perlu dilakukan asesmen gizi, yang antara lain meliputi: penurunan berat badan (BB), kenaikan BB yang tidak sesuai dengan standar ibu hamil, nilai lab (Na. k. Cl), tes toleransi laktosa, riwayat diet, konsistensi feses, dan gejala lain yang menyertai.
Tujuan intervensi tak terbatas pada menemukan penyebab diare dan memberi pengobatan yang tepat. “Kita juga harus mencegah atau meringankan dehidrasi anemia, dan hipoglikemia yang mungkin terjadi,” ujar Fitri.
Ibu perlu diedukasi untuk menghindari makanan/minuman yang meningkatkan aktivitas kolon, misalnya yang bersuhu ekstrim, makanan pedas, atau yang mengandung kafein. “Ibu hamil juga perlu membatasi makanan dan minuman yang tinggi gula, laktosa, sirup jagung fruktosa, dan sorbitol. Sarankan ibu untuk makan camilan tiap 3-4 jam. Selain itu, konsumsi probiotik juga bisa membantu mencegah dan mengatasi diare,” tutur Fitri.
Diare pada Bayi dan Anak
Diare pada anak berkaitan erat dengan faktor higienitas dan sanitasi di orang-orang dan lingkungan terdekatnya. Diare pada anak bisa berlangsung akut (<14 hari), atau kronis (>14 hari). “Diare akut umumnya disebabkan oleh infeksi patogen, seperti V. cholera, E. coli, dan rotavirus,” ungkap Afifa Yulfina, S.Gz, RD, Dietisien di RSUD dr. Soetomo, Surabaya. Adapun diare kronis bisa disebabkan oleh alergi, intoleransi laktosa, dan lain-lain.
Salah satu dampak diare yang paling dikhawatirkan pada anak, terutama yang masih kecil, yaitu dehidrasi berat. Nyawa anak bisa tidak tertolong akibat dehidrasi berat yang terlambat ditangani.
Selain itu, anak juga berisiko mengalami penurunan status gizi. “Dalam jangka panjang, anak berisiko mengalami penurunan skor perkembangan kognitif, akibat malnutrisi kronis,” terang Afifa.
Tatalaksana diare pada anak meliputi lima langkah: oralit, zinc selama 10 hari, teruskan ASI dan makan, antibiotic selektif sesuai indikasi, dan nasihat. “Asupan zinc penting untuk menggantikan zinc yang keluar akibat diare, mempercepat regenerasi lapisan usus, serta meningkatkan imunitas tubuh sehingga mengurangi risiko diare berulang,” papar Afifa.
Ia menegaskan, orang tua perlu mengenali tanda dan gejala dehidrasi, untuk mencegah terjadinya dehidrasi berat yang mengancam jiwa. “Perhatikan apakah mata anak cekung, anak rewel dan gelisah, dan lakukan tes cubit; apakah kulitnya cepat kembali, lambat, atau sangat lambat?” tuturnya.
Terapi untuk diare tanpa dehidrasi meliputi pemberian tablet zinc (1/2 tablet/hari untuk anak usia <6 bulan dan 1 tablet untuk anak usia >6 bulan). Beri makan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu anak sehat, dan beri makanan kaya kalium seperti pisang dan kelapa. “Beri anak makan lebih sering (tiap 3-4 jam), dengan porsi kecil. Setelah diare berhenti, beri makanan yang sama dan makanan tambahan selama 2 minggu,” jelas Afifa.
Pada diare dengan dehidrasi ringan-sedang, maka perlu diberikan oralit (75 ml x BB) selama 3 jam pertama. “Untuk bayi < 6 bulan yang tidak mendapat ASI berikan juga 100-200 ml air masak selama masa ini. Untuk anak > 6 bulan, tunda pemberian makan selama 3 jam kecuali ASI dan oralit,” tambah Afifa. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut, setelah itu nilai kembali kondisi anak setelah rehidrasi.
Bagaimana untuk anak diare dengan dehidrasi berat? “Maka perlu diberikan cairan intravena segera,” tandasnya.
Peranan Probiotik
Usus kita dihuni oleh triliunan bakteri. Bakteri ini ada yang bersifat merugikan, ada yang netral, dan ada yang bermanfaat. “Pada usus sehat, komposisi mikrobiota ini seimbang, dan jenisnya lebih beragam. Seimbang artinya komposisi bakteri bermanfaat lebih banyak,” terang Ni Putu Desy Aryantini, S.KM., M.AFH., Ph.D dari PR Science PT Yakult Indonesia Persada.
Keberadaan bakteri bermanfaat sangat penting untuk kesehatan tubuh. Mereka memproduksi asam lemak rantai pendek (SCFA) yang akan menutrisi sel-sel usus besar, memperkuat sel-sel epitel usus, menekan pertumbuhan bakteri patogen, hingga mendukung sistem imun. “Bila komposisi mikrobiota usus tidak seimbang atau terjadi disbiosis, akan muncul gangguan kesehatan,” imbuh Desy.
Manfaat probiotik untuk mengatasi/mencegah diare telah banyak dibuktikan dalam berbagai penelitian. Salah satunya yang dilakukan oleh Dipika Sur, dkk (2011). Penelitian dilakukan di Kolkatta, India. Sebanyak 3.758 anak usia 1-5 tahun secara acak dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok mendapat minuman susu fermentasi mengandung L. casei Shirota strain, dan kelompok lainnya mendapat minuman nutrisi, setiap hari selama 12 minggu. “Hasilnya, kejadian diare pada kelompok yang mengonsumsi L. casei Shirota strain lebih rendah secara signifikan,” ujar Desy.
Penelitian terbaru dilakukan oleh Truong Tuyet Mai, dkk (2021). Pada penelitian tersebut, 1.000 anak usia 3-5 tahun di provinsi Thanh Hoa, Vietnam, dibagi secara acak menjadi dua kelompok. Selama 12 minggu, satu kelompok mengonsumsi susu fermentasi yang mengandung L. casei Shirota strain, dan kelompok lainnya tidak mendapat apapun.
Evaluasi angka kejadian konstipasi, diare, serta infeksi pernapasan akut dilakukan di awal studi; minggu 4, 8, dan 12 intervensi; dan 4 minggu setelahnya. “Ditemukan penurunan insiden konstipasi, diare, dan kekambuhan infeksi pernapasan akut pada kelompok perlakuan,” jelas Desy. (nid)
_______________________________________
Ilustrasi: https://www.freepik.com/free-photo/full-shot-cute-kid-holding-toilet-pap...