Memasuki usia senior atau lansia, terdapat perubahan fisiologis seperti penurunan fungsi tubuh, perubahan komposisi tubuh, hingga munculnya berbagai penyakit kronis. Perlu terapi gizi khusus untuk lansia dengan berbagai masalahnya, salah satunya diabetes kidney disease (DKD).
Saat ini Indonesia sudah memasuki aging populasi, di mana terjadi peningkatan jumlah penduduk usia lanjut. Kelompok umur berusia 60 tahun ke atas diperkirakan meningkat dari 10,7% (tahun 2020) menjadi 19,9% dari total penduduk pada tahun 2040. Demikian juga kelompok pra-lansia (usia 45-60 tahun). Data Badan Pusat Statistik tahun 2020 memperkirakan adanya peningkatan dari 10% (2020) menjadi 17% (2040).
Transisi demografi ini juga diiringi dengan peningkatan penyakit degeneratif pada lansia. Riskesdas (Riset Kesahatan Dasar) 2018 mencatat 27% lansia memiliki penyakit sendi, 13% hipertensi, dan terbanyak lainnya adalah diabetes mellitus (DM) dan penyakit paru.
Terkait DM, penyakit ginjal diabetik (DKD) merupakan beban utama pada lansia yang menderita diabetes tipe 2 (DM2: diabetes karena gaya hidup). Lansia yang hidup dengan diabetes dan penyakit ginjal kronis (PGK) ini memerlukan pengelolaan diabetes ekstra hati-hati.
Lansia dengan DKD ini juga memiliki masalah yang kompleks lain, dimulai dari penurunan fungsi kognitif yang signifikan – bahkan demensia (kepikunan). Penelitian di jurnal Lancet Diabetes Endocrinology (2014) menyebutkan orang yang menderita DM2 rata-rata mengalami demensia 2,5 tahun lebih cepat, dibanding lansia tanpa diabetes.
Sarkopenia dan kelemahan (frailty) juga berdampak lebih berat pada lansia dengan diabetes dan penyakit ginjal. Sarkopenia merupakan kondisi hilangnya massa dan fungsi otot (kekuatan dan performa) yang umumnya mulai terjadi di usia 50 tahun plus. Sementara frailty dikaitkan dengan peningkatan risiko terjatuh, patah tulang, rawat inap, ketergantungan dan rendahnya kualitas hidup lansia.
Lansia di kelompok ini juga berisiko mengalami hiper dan hipoglikemia. Penyebab hipoglikemia pada lansia dengan DKD bisa bermacam-macam. Banyak obat penurun gula yang dibersihkan oleh ginjal, menyebabkan pasien PGK berisiko lebih tinggi mengalami hipoglikemia akibat obat.
Penurunan massa dan disfungsi otot juga berkontribusi terhadap penurunan pembersihan insulin.
Rekomendasi nutrisi
Terapi gizi pada lansia DKD mutlak diperlukan, selain untuk mengontrol kadar gula, juga mencegah terjadinya malnutrisi dan memperlambat perburukan fungsi ginjal yang mengarah pada tindakan dialisis (cuci ginjal).
Pengelolaan asupan energi sangat penting untuk mencegah timbulnya pemborosan energi protein (protein energy wasting/PEW), terutama pada pola makan rendah protein. Juliana Giglio, dkk, menjelaskan, prevalensi PEW pada pasien PGK ringan hingga sedang berkisar antara 6-10%, dan bahkan lebih tinggi pada pasien PGK lanjut usia.
Jurnal BMC Nephrology (2016) menjelaskan pada pasien PGK nondiabetes, sebagian besar pedoman saat ini menyarankan asupan energi sebesar 30 kkal/kg/hari untuk subyek berusia >60 tahun, dan 35 kkal/kg/hari untuk individu <60 tahun. Asupan protein normal hingga rendah (0,8–0,6 g/kg/hari), natrium (100 mmol/hari), dan fosfor (800–600 mg/hari) juga direkomendasikan untuk memperbaiki kelainan metabolisme dan nutrisi serta mencegah PEW.
Sementara pada lansia dengan DKD, rekomendasi dari American Diabetes Association, American Society of Nephrology, dan the National Kidney Foundation adalah asupan protein makanan sebesar 0,8 g/kg berat badan per hari untuk pasien yang tidak menjalani dialisis.
Asupan karbohidrat dari gula adalah <10% dari asupan energi. Konsumsi makanan tinggi serat, dan lemak tak jenuh ganda/tunggal yang lebih tinggi (dibandingkan lemak jenuh, lemak trans, dan kolesterol) yang dikaitkan dengan hasil yang lebih baik.
Mereka juga merekomendasikan pembatasan diet natrium kurang dari 1,5–2,3 g/hari untuk disesuaikan secara individual berdasarkan kebutuhan pasien.
Peran probiotik
Probiotik bisa menjadi bagian dalam terapi gizi untuk pasien lansia dengan diabetic kidney disease. Konsumsi probiotik pada pasien diabetes diketahui memperbaiki sensitivitas insulin, peningkatan antioksidan dan penurunan peradangan usus.
Peneliti di Jepang memberikan susu fermentasi yang mengandung bakteri probiotik L. casei Shirota strain (LcS) pada 100 orang dengan hiperglikemi post-load sedang. Studi Eiichiro Naito, dkk, ini mendapati glikoalbumin dan HbA1c pada kelompok probiotik, turun dibandingkan saat baseline.
Pada mereka dengan intoleransi glukosa berat, glikoalbumin dan kadar glukosa plasma setelah konsumsi gula 1 jam, jauh membaik pada kelompok probiotik, dibandingkan kelompok plasebo.
Terkait penyakit ginjal kronis (PGK), penderita PGK menunjukkan peningkatan bakteri aerob di usus yang menghasilkan racun uremik (kadar urea yang sangat tinggi) dan penurunan bakteri baik seperti bifidobacteria dan Lactobacillus.
Tim peneliti dari Meksiko memberikan probiotik LcS kepada pasien PGK. Dari 30 pasien yang dievaluasi, ditemukan penurunan > 10% konsentrasi urea darah untuk pasien yang diobati, yang signifikan dibandingkan dengan pengukuran awal.
Pada pasien lansia, konsumsi minuman probiotik LcS terbukti membantu meningkatkan imunitas. Dong H, dkk (2013) memberikan probiotik atau plasebo kepada 30 relawan sehat usia 55-74 tahun.
Selanjutnya diikuti dengan periode wash out tanpa konsumsi probiotik maupun plasebo, lalu konsumsi ditukar. Seperti periode pertama, masing-masing minuman dikonsumsi dengan perlakuan yang sama.
Hasilnya, konsumsi LcS berhubungan dengan peningkatan aktivitas sel NK (Natural Killer) secara signifikan. Sel NK adalah salah satu bagian penting dalam sistem imun bawaan, yang bertugas mengendalikan infeksi mikroba patogen dan sel kanker.
Dari berbagai studi di atas disimpulkan bila probiotik – khususnya LcS – bermanfaat pada lansia, termasuk lansia dengan diabetes kidney disease. (jie)
__________________________
Ilustrasi: Freepik