Mudahnya memperoleh informasi melalui internet, membuat banyak orang cenderung melakukan pengobatan sendiri. Padahal, ada batasan-batasan tertentu seseorang bisa melakukan pengobatan sendiri.
Pengobatan sendiri (swamedikasi) merupakan upaya awal untuk mengurangi/mengobati penyakit-penyakit ringan menggunakan obat-obatan dari golongan obat bebas dan bebas terbatas.
Menurut Dr. apt. Lusy Noviani, MM, Wakil Sekjen Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) pengalaman memakai obat sebelumnya, atau informasi teman/media sangat berpengaruh pada perilaku swamedikasi. Selain itu banyaknya variasi produk, kemudahan akses mendapatkan obat turut mendukung untuk melakukan pengobatan sendiri.
Pengobatan sendiri bisa dilakukan untuk beberapa penyakit ringan, seperti batuk, flu, diare, maag, demam, konstipasi (sembelit), cacingan, penyakit kulit, hingga alergi.
Lusy menjelaskan, obat-obatan selain obat keras, narkotik dan psikotropika, obat yang tidak dikontraindikasikan untuk anak <2 tahun, ibu hamil dan lansia, serta penggunaannya tidak membutuhkan bantuan medis, boleh diberikan tanpa resep.
“Ketika melakukan pengobatan sendiri, seseorang bisa menanyakan ke pada apoteker tentang khasiat obat, dosis, waktu dan cara pemakaian, serta efek samping dan cara mengatasinya,” terangnya dalam webinar kefarmasian, Selasa (21/9/2021).
“Apoteker seharusnya juga memberikan informasi tentang hal yang perlu dilakukan jika lupa memakai obat, cara menyimpan obat, hingga cara membedakan obat yang masih baik atau rusak,” terang wanita yang menjabat sebagai manager farmasi di RS Atma Jaya, Jakarta, ini.
Jenis-jenis obat yang biasa dipakai sebagai swamedikasi
Obat batuk
Batuk sejatinya adalah mekanisme pertahanan tubuh untuk mengeluarkan partikel yang mengganggu dari saluran napas. Tetapi reaksi ini sendiri dapat menimbulkan ketidaknyamanan, bahkan reaksi batuk yang berlebihan dapat melukai mukosa saluran napas.
Dalam kesempatan yang sama dr. Deanno W. Saputra, product manager PT Menarini, menjelaskan terapi batuk dimaksudkan untuk mengurangi gejala. Terdiri dari tiga macam: antitussive, mucolytic dan expectorant.
Obat batuk antitussive bekerja dengan menekan dan mengontrol reseptor batuk, juga menghalangi iritasi saluran napas. Contohnya dextromethorphan dan pipazethate HCl.
Obat mucolytic akan membantu mengeluarkan lendir dengan cara memecah benang mukoprotein lendir menjadi partikel kecil. Contoh obatnya seperti ambroxol, bromhexin atau acetyl-sistein.
Sedangkan obat batuk expectorant membantu mengeluarkan lendir dengan cara mengencerkan lendir. Contoh obatnya glyceryl guaiacolate, guaifenesin, succus licorice (SL) atau ammonium chloride.
“Guaifenesin akan meningkatkan keluarnya sel mukosa yang lebih encer sehingga menurunkan viskositas (kekentalan) lendir, menjadi lebih mudah dikeluarkan. Obat ini sering dikombinasikan dengan obat flu dan obat batuk lain,” terang dr. Deanno.
Pilek
Penyebab umum pilek adalah virus; rhinovirus (30-35%), adenovirus (30%) atau influenza. Gejalanya biasanya disertai dengan sakit tenggorokan, hidung tersumbat, bersin dan nyeri otot. Kadang diikuti dengan mata merah (konjungtivitis).
Obat-obatan yang dipakai untuk mengurangi gejala pilek adalah antihistamin dan decongestant. “Antihistamin menghambat pengeluaran histamin (zat yang diproduksi sel tubuh ketika mengalami alergi atau infeksi) sehingga peradangan, gejala gatal dan berair berkurang. Contoh obatnya seperti CTM, isothypendyl dan desloratadin,” kata dr. Deanno.
Decongestant bekerja melapangkan hidung tersumbat dengan cara mengurangi edema (bengkak dengan penumpukan cairan) saluran napas. Misalnya obat pseudoephedrine dan phenylephrine.
Demam
Untuk menurunkan demam digunakan obat golongan antipiretik. Cara kerja antipiretik adalah dengan menghambat suatu senyawa yang bernama prostaglandin sehingga dapat memengaruhi pusat pengaturan suhu di otak.
Ada beberapa jenis obat antipiretik, ada yang merupakan obat bebas sampai obat keras, dengan bentuk sediaan dari kapsul, kaplet, tablet maupun sirup. Contoh antipiretik yang tergolong obat bebas adalah parasetamol dan ibuprofen.
“Parasetamol dipakai sebagai lini pertama untuk mengurangi demam dan nyeri. Aman untuk anak >2 tahun, ibu hamil dan menyusui. Efek samping ringan dan relatif tidak menyebabkan gangguan lambung,” terang Lusy.
Sementara ibuprofen bisa dipakai untuk anak >6 bulan. Digunakan untuk demam dan nyeri karena inflamasi. Perlu diwaspadai, karena dapat diekresikan (dikeluarkan) lewat ASI dan mempengaruhi janin pada ibu hamil.
Pada kasus demam anak, Lusy menjelaskan pengobatan sendiri dilakukan dengan mempertimbangkan ada tidaknya nyeri/sakit kepala, kejang, sesak napas, muntah, diare dan gejala dehidrasi.
“Bila ada segera bawa ke dokter. Tetapi bila tidak ada gejala tersebut berikan cukup cairan, hindari baju tebal, jaga sirkulasi udara dan berikan obat penurun panas. Demam pada bayi <3 bulan langsung bawa ke dokter,” tegasnya.
Obat pereda panas diberikan setelah suhu > 38℃ dan anak terlihat tidak nyaman. Obat diberikan sesuai dosis pada kemasan dan tidak berlebih. Jika ragu, konsultasikan dosis obat dengan dokter sesuai berat badan anak. (jie)
_____________________________________________________________
Ilustrasi: Woman photo created by senivpetro - www.freepik.com