Yang dinanti-nanti ummat Islam akan segera tiba: bulan Ramadan. Bulan berlimpah pahala dan ampunan. Selama paling tidak 14 jam, sejak subuh sampai petang (magrib), perut kosong karena berpuasa. Sangat banyak penelitian yang menyimpulkan, puasa baik untuk kesehatan.
Prof. Yoshinori Ohsumi dari Jepang, peraih Nobel bidang Ilmu Fisiologi (Kedokteran) tahun 2016 membuktikan, puasa berdampak positif bagi kesehatan. Puasa, kata Prof. Ohsumi, berkaitan erat dengan autophagy, yang artinya memakan diri sendiri (Yunani).
Autophagy adalah kemampuan sel dalam tubuh manusia, untuk memakan atau menghancurkan komponen tertentu dalam sel itu sendiri.
Mekanisme autophagy dalam mengontrol fungsi-fungsi fisiologis penting, saat komponen sel perlu didegradasi dan didaur ulang. Dengan autophagy, sel mengisolasi bagian yang rusak, mati, tidak bisa diperbaiki, terserang penyakit atau terinfeksi. Semua diubah menjadi sesuatu yang tidak membahayakan, dan didaur ulang sehingga menghasilkan energi.
Komponen sel yang rusak dibangun dan diperbarui kembali. Autophagydapat mengeliminasi bakteri atau virus. Berdampak positif pada perkembangan embrio dan mencegah dampak negatif proses penuaan. Mekanisme autophagy juga terbukti berperan menjaga kesehatan secara keseluruhan.
Puasa bersihkan sel mati dan rusak
Proses autophagy terganggu, dapat menyebabkan masalah kesehatan. Di antaranya diabetes tipe 2, kelainan saraf, kanker dan penyakit lain yang berkaitan dengan usia. Dari penelitiannya, Prof. Ohsumi menemukan cara sederhana agar autophagy terjadi: berpuasa.
Cara mengaktivasi proses autophagy pada sel adalah dengan kekurangan nutrisi. Puasa membuat otak menerima sinyal, tubuh kekurangan makanan dan mencari-cari makanan yang tersisa dalam tubuh. Autophagy teraktivasi, sel bereaksi merusak protein yang rusak atau tua dalam tubuh. Kadar insulin menurun, glucagon bekerja membersihkan sisa-sisa sel mati atau rusak.
Selama proses ini, tubuh harus bebas dari makanan minuman setidaknya 12 jam. Durasi puasa Ramadan – juga puasa sunat Senin Kamis, puasa 3 hari tengah bulan dan puasa Nabi Daud – adalah sekitar 14 jam. Luar biasa.
Puasa kurangi gejala GERD
Penelitian FKUI menyoroti pengaruh puasa pada penderita GERD (Gastroesophageal Reflux Disease). Ini penyakit pencernaan kronis. Cairan asam lambung dan isi lambung naik dan mengiritasi dinding kerongkongan.
Penelitian dilakukan peserta didik spesialis FKUI, berjudul “Pengaruh puasa Ramadan terhadap gejala klinis pasien penyakit GERD”. Dilakukan melalui survei online, 50% responden mengalami GERD sesuai skoring kuisioner GERD (GERD-Q).
Penelitian dilakukan Ramadan tahun 2015, dipimpin Dr. Radhiyatam Mardhiyah dengan pembimbing Dr. Ari F Syam. Sebanyak 130 pasien GERD dibagi 2 kelompok: pasien yang berpuasa dan yang tidak puasa. Subjek penelitian laki-laki, rerata usia 53 tahun. GERD dipilih karena penyakit ini dapat menurunkan kualitas hidup pasien, walau tidak menyebabkan kematian mendadak.
Pasien yang menjadi subjek penelitian diperiksa di minggu ke-4 (tertakhir) Ramadan; dibandingkan dengan kondisi 3 bulan setelah Ramadan. Hasilnya, kelompok pasien yang berpuasa memperlihatkan perubahan nilai GERD-Q (parameter untuk menilai ringan buruknya GERD). Yang mengalami perubahan 55 pasien (85%). Dan pada 23%, perubahan GERD terjadi dengan rentang cukup besar.
Minggu pertama Ramadan, keluhan maag membaik. Karena makan teratur (sahur dan berbuka), siang tidak ngemil, konsumsi rokok kurang, dan pengendalian diri. Secara teoritis, pasien GERD juga membaik saat puasa Ramadan. Ini yang mendorong, mengapa pasien GERD yang berobat ke Poli Gastroenterologi RSCM diteliti pengaruh gejala GERD-nya selama puasa Ramadan.
Disimpulkan, pasien GERD yang berpuasa keluhannya dirasakan lebih ringan, dibanding saat tidak puasa. “Hasil penelitian ini menjadi angin segar bagi penderita GERD, untuk tidak ragu-ragu menjalankan puasa Ramadan,” ujar Dr. Ari F Syam usai penelitian. (sur)