Diare masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Diare bisa diartikan sebagai feses (tinja) yang encer, dengan frekuensi buang air besar (BAB) minimal 3x sehari. “Kematian akibat diare sudah sangat menurun, karena penanganan yang sudah dikuasai oleh tenaga medis di Puskesmas. Termasuk di antaranya pemberian oralit,” ungkap Prof. dr. Hari Kusnanto Josep, MPH, Dr.PH, Sp.KKLP, Guru Besar Bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pemanfaatan probiotik untuk diare kini juga makin umum dikenal.
Banyak hal bisa disebabkan oleh berbagai hal. Misalnya saja infeksi rotavirus yang banyak menyebabkan diare pada balita, intoleransi laktosa, hingga konsumsi antibiotik yang bisa menyebabkan antibiotic associated diarrhea (AAD) atau diare terkait antibiotik. “Antibiotik bisa mengurangi keragaman mikroflora usus, dan menimbulkan pertumbuhan berlebih dari bakteri patogen sehingga terjadilah infeksi saluran cerna,” terang Prof. Hari, dalam webinar Kedokteran Keluarga Mencegah dan Mengatasi Diare dengan Probiotik, Sabtu (23/10/2021).
Ketidakseimbangan bakteri di usus disebut juga disbiosis. Selain akibat konsumsi antibiotik, disbiosis juga disebabkan oleh pola hidup yang kurang baik; misalnya pola makan tinggi lemak, gula dan minim serat; kurang aktivitas fisik; kurang istirahat; dan merokok. Prof. Hari menekankan pentingnya memelihara keseimbangan mikroflora usus dengan probiotik, dan prebiotik.
Probiotik
Definisi probiotik menurut FAO/WHO yaitu mikroorganisme hidup yang apabila dikonsumsi dalam jumlah memadai dapat memberi manfaat kesehatan bagi yang mengonsumsi. Definisi tersebut dilengkapi oleh International Scientific Assocoation of Probiotics and Prebiotics. “Yaitu, produk yang mengandung mikroorganisme hidup dengan jumlah sel yang cukup, dan strainnya itu spesifik dengan manfaat kesehatan yang dibuktikan lewat uji klinis,” papar Prof. Dr. Ir. Endang S. Rahayu atau akrab disapa Prof. Trisye, Guru Besar Teknologi Pertanian UGM.
Ada 9 syarat suatu mikrooranisme bisa disebut sebagai probiotik. “Yang penting, harus bisa tumbuh di kolon, lalu di sana dapat menempel di mukus, menghasilkan antibakteri agar bisa menghambat patogen, tidak boleh melakukan translokasi, dan harus membawa manfaat kesehatan,” terang Prof. Trisye. Jumlah sel hidup dinyatakan dengan Colony Forming Unit (FCU). Selain itu, probiotik juga harus tahan terhadap asam lambung dan garam empedu sehingga bisa mencapai usus dalam keadaan hidup.
Penelitian oleh Prof. Trisye dan tim peneliti membuktikan kemampuan L. casei Shirota strain mampu hidup dan berkembang di usus. “Kami mengundang 26 relawan untuk mengonsumsi susu fermentasi L. casei Shirota strain setiap hari, selama 10 hari,” ujar Prof. Trisye. Selanjutnya, feses para relawan diteliti, apakah ada L. casei Shirota strain yang tumbuh di sana.
“Ternyata setelah konsumsi, terjadi peningkatan L. casei Shirota strain yang sangat signifikan di feses, bahkan ada yang sampai 108 CFU,” terang Prof. Trisye. Setelah konsumsi dihentikan, jumlah L. casei Shirota strain di feses menurun. “Untuk menjaga agar usus sehat, perlu konsumsi rutin,” tambahnya.
Peranan Probiotik untuk Diare
Peranan probiotik untuk diare antara lain dibuktikan dalam penelitian oleh dr. Dipika Sur di Kolkatta, India, pada 2010. Sebanyak 3.758 anak balita diikutkan dalam studi tersebut. Mereka dibagi secara acak menjadi dua kelompok. Sebagian anak mendapat probiotik berupa susu fermentasi dengan kandungan L. casei Shirota strain, dan sebagian lagi mendapat plasebo berupa susu asam tapi tanpa kandungan L. casei Shirota strain.
Setelah konsumsi selama 12 minggu, ditemukanlah hasil berikut ini. “Ternyata kejadian diare pada kelompok probiotik sangat rendah, yaitu 0,88 kasus/anak/tahun. Sedangkan pada kelompok plasebo mencapai 1,029 kasus/anak/tahun,” ungkap Prof. Trisye. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa perbedaan antara kelompok probiotik dan plasebo berbeda secara signifikan. “Artinya, susu fermentasi L. casei Shirota strain dapat mengurunkan terjadinya kasus diare pada anak,” imbuh Prof. Trisye.
Pendekatan Kedokteran Keluarga
“Diare bisa menyebabkan kematian kalau ada dehidrasi dan malnutrisi. Dan sebenarnya, kedua kondisi ini bisa dicegah,” ungkap Dr. dr. Wahyudi Istiono, M.Kes, Sp.KKLP dari Kedokteran Keluarga UGM. Di fasilitas kesehatan primer, anamnesis (wawancara) menjadi cara utama bagi dokter untuk berusaha mengidentifikasi penyebab diare, mengingat fasilitas pemeriksaan yang terbatas.
“Yang paling kritis yang perlu diamati yaitu apakah ada dehidrasi berat, sedang, ringan, atau tidak ada dehidrasi,” tegasnya. Hal ini penting dilakukan oleh dokter di layanan primer, maupun pasien/keluarga pasien di rumah. “Bila tangan dan kaki dingin, harus curiga ada dehidrasi,” imbuhnya. Tanda lain dehidrasi misalnya takikardia (denyut jantung cepat), kulit cekung bila dicubit, dan bibir pecah-pecah.
Umumnya, diare akut berangsur membaik dalam tiga hari. Penanganan diare yang utama yaitu rehidrasi (asupan cairan) untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi. Di samping itu juga obat antidiare, zinc, probiotik, dan antibiotik bila diperlukan.
Pada anak, penanganan diare juga membutuhkan keterlibatan orang tua di rumah. “Ibu perlu memberikan cairan ekstra untuk anak. Untuk bayi yang masih mendapat ASI eksklusif, perlu disusui sesering mungkin,” jelasnya. Asupan nutrisi (makanan) juga perlu diperhatikan, jangan sampai kekurangan. Selain itu, “Ibu juga perlu belajar cara membuat oralit sendiri, dan menghitung kebutuhan oralit anak sesuai dengan usia dan berat badan anak. Juga memberikan suplementasi zinc.”
Hindari mengonsumsi atau memberi anak antibiotik tanpa resep dokter. “Adapun probiotik untuk diare bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki flora usus dan memperpendek durasi diare,” ucap Dr. dr. Wahyudi. Jangan lupa, kembalilah berkonsultasi ke dokter sesuai jadwal yang telah direkomendasikan oleh dokter, misalnya 3 hari kemudian. (nid)