Konstipasi atau sembelit banyak terjadi pada perempuan, dan kerap terjadi (juga meningkat derajat keparahannya) selama kehamilan. Demikian juga dengan wasir, prevalensinya tidak jauh berbeda pada ibu hamil dan pascapersalinan.
Juan C Vazquez yang melakukan lima tinjauan sistematis (baik riset acak terkontrol atau obervasional) mencatat prevalensi sembelit selama kehamilan adalah antara 11 – 38%. Paritas atau operasi caesar sebelumnya telah dikaitkan dengan kejadian sembelit.
Sementara wasir (hemorrhoid), walau kasus pasti selama kehamilan dan sesudahnya belum diketahui, kondisi ini kerap terjadi, dan prevalensi wasir selama kehamilan lebih tinggi dibanding yang tidak mengandung.
Vasquez dalam BMJ Clinical Evidence menulis, di populasi wanita hamil di Serbia dan Montenegro, wasir terjadi pada 85% wanita selama kehamilan kedua dan ketiga. Wasir juga merupakan keluhan yang banyak terjadi pada wanita yang baru saja melahirkan, dan menjadi lebih umum dengan bertambahnya usia dan paritas.
Perubahan anatomi
Kehamilan menyebabkan perubahan anatomi dan fisiologi, sehingga berpengaruh terhadap aktivitas buang air besar (BAB).
Meningkatnya hormon progesteron yang berperan dalam proses relaksasi pada kerja otot halus, membuat gerakan pencernaan melambat. Akibatnya, proses pengosongan lambung lebih lama dan waktu transit makanan di lambung meningkat.
Gerakan peristaltik usus juga melambat, sehingga daya dorong terhadap sisa makanan/feses melemah. Feses menumpuk di usus besar menjadi kering, keras dan sulit dikeluarkan.
Masih ada faktor membesarnya perut juga akan menekan rektum, membuat jalannya feses tidak lancar. Ini kenapa sembelit paling sering terjadi pada kehamilan trimester ketiga.
Perut yang membesar memberi tekanan pada panggul dan daerah anus. Belum lagi, cairan tubuh bertambah dan umumnya berat badan (BB) juga naik, sehingga tekanan yang ditimbulkan pada anus makin besar lagi. Akibatnya, pembuluh darah vena di daerah tersebut melebar dan timbul wasir.
Pembuluh darah melebar dan meradang lalu terisi cairan, yang bila didiamkan akan makin besar. Makin besar ukuran (derajat) wasir, maka makin sulit untuk kembali mengecil. Pada derajat empat (akhir), wasir keluar dan tidak bisa dimasukkan lagi, sehingga terjepit lubang anus. Timbul nyeri.
Probiotik sebagai terapi alternatif
Vazquez yang adalah dokter spesialis dan asisten profesor obgyn di Instituto Nacional de Endocrinologia, Kuba menyarankan ibu hamil yang sebaiknya memperbanyak konsumsi serat dan cairan, selain diberikan laksatif stimulan.
“Diet tinggi serat bisa memperbaiki konstipasi pada wanita hamil, dibandingkan plasebo,” urai Dr Vasquez. “Kami tidak tahu apakah memperbanyak asupan cairan bisa memperbaiki sembelit ibu hamil. Namun, karena manfaat lainnya, memperbanyak minum bisa direkomendasikan sebagai salah satu terapi pertama untuk mengatasi konstipasi.”
Demikian juga pada kasus wasir, Vasquez dalam analisisnya menyatakan peningkatan asupan serat dan cairan tampaknya masuk akal untuk mendorong wanita hamil – termasuk juga pasca melahirkan – sebagai tindakan pencegahan.
Berdasarkan hal tersebut, terapi alternatif diperlukan. Pada banyak riset dibuktikan bila pada kondisi konstipasi atau sembelit terjadi ketidakseimbangan bakteri usus. Pemberian makanan/minuman probiotik (mengandung bakteri baik) tercatat bermanfaat membantu mengatasi sembelit dan wasir.
Konsumsi probiotik membantu motilitas usus (kecepatan dan efektivitas gerak usus untuk pemindahan makanan ke seluruh tubuh). Probiotik juga bisa mengurangi sembelit karena melunakkan tinja.
Mojgan Mirghafourvand, et al, dalam Iranian Red Crescent Medical Journal menyebutkan konsumsi probiotik 300 gram/hari signifikan mengurangi gejala sembelit pada wanita hamil.
Riset dilakukan pada 60 wanita hamil di Iran dari Desember 2014 hingga Juli 2015. Pada kelompok intervensi (30 orang) mendapatkan yogurt yang diperkaya bakteri Bifidobacterium dan Lactobacillus 4,8 x 1010 unit pembentuk koloni (CFU), sementara sisanya adalah kelompok kontrol yang diberikan yogurt konvensional.
Hasilnya terjadi peningkatan frekuensi BAB dari 2,1 (di awal penelitian) menjadi 8,3 di akhir studi selama 4 minggu pada kelompok intervensi.
Probiotik LcS
Pada riset yang diterbitkan di jurnal Beneficial Microbes, T Sakai, dkk, kembali ditegaskan sembelit dan ambeien adalah keluhan umum setelah melahirkan.
Tujuan utama riset tersebut bermaksud untuk mengevaluasi efek susu fermentasi yang mengandung Lactobacillus casei strain Shirota (LcS) pada konsistensi dan frekuensi tinja, gejala dan kualitas hidup terkait sembelit, dan kejadian wasir selama masa nifas.
Sebanyak 40 wanita yang melahirkan normal secara acak mendapatkan satu botol per hari susu fermentasi mengandung LcS, atau plasebo, selama enam minggu pascapersalinan.
Mereka diminta mengisi buku harian tentang kebiasaan BAB (termasuk frekuensi dan konsistensi tinja) dan kejadian wasir. Juga menjawab kuesioner tentang gejala yang berhubungan dengan sembelit dan kualitas hidup selama masa penelitian.
Kelompok yang mengkonsumsi LcS menunjukkan skor yang lebih baik pada keseluruhan gejala sembelit dan subskala kepuasan, dibandingkan dengan kelompok plasebo. Selanjutnya, 2 - 4 subyek mengalami wasir selama 3 minggu pertama pengobatan. Jumlah tersebut pun menurun pada minggu ke 4 dan hampir tidak ada yang mengalami wasir pada minggu ke 5-6.
Sebagai pembanding, di kelompok plasebo, rata-rata 4 subyek menderita wasir sejak awal dan tidak ada perubahan nyata yang diamati hingga minggu ke-6.
“Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi susu fermentasi mengandung LcS secara kontinyu dapat meringankan gejala sembelit, memberikan kebiasaan BAB yang memuaskan dan menghasilkan pemulihan lebih awal dari wasir pada wanita selama masa nifas,” peneliti menyimpulkan dalam laporannya. (jie)
______________________________________________
Ilustrasi: Pose photo created by shurkin_son - www.freepik.com