ancaman dbd di tengah pandemi covid-19

Pandemi COVID-19 Belum Usai, Kasus DBD Terus Mengintai

Di tengah pandemi COVID-19, Pemerintah terus mengingatkan tentang ancaman DBD (demam berdarah dengue). Masih terjadi lonjakan kasus DBD, sementara sebagian besar tim medis fokus pada penanganan virus corona.

Juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19 dr. Achmad Yurianto pada awal Mei lalu mengatakan kita perlu mewaspadai ancaman demam berdarah karena gambaran kasusnya meningkat selama musim pancaroba.

“Kita memahami bila infeksi DBD dan COVID-19 terjadi bersamaan akan menyulitkan kita dan menambah jumlah kesakitan, dan tidak menutup akan meningkatkan jumlah kematian. Berada di rumah tidak hanya mencegah COVID-19 tetapi juga DBD,”tegasnya. “Jadi ini adalah saat yang paling baik untuk tetap di rumah melakukan pemberantasan sarang nyamuk, pemantauan jentik di rumah, dan tetap menjaga kebersihan.

Sementara itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, di awal kasus COVID-19 merebak di Indonesia sempat menjelaskan bahwa langkah pencegahan COVID-19, termasuk cuci tangan dan memakai masker, bisa dimanfaatkan untuk memasyarakatkan gaya hidup sehat untuk mencegah penyakit infeksi lain seperti DBD, tuberkulosis, diare dan ISPA.

Menurut data Kementerian Kesehatan dalam tiga bulan pertama tahun ini terdapat 39.860 kasus DBD di seluruh Indonesia. Jumlah ini meningkat 15,7% dibanding tahun lalu dalam periode waktu yang sama. Bahkan total 137.761 kasus pada 2019 adalah dua kali lipat dari jumlah kasus pada 2018.

Organisasi Kesehatan Dunia menjelaskan demam berdarah dengue merupakan salah satu penyebab tertinggi infeksi serius yang bisa menyebabkan kematian di negara-negara Asia dan Amerika Latin. Jurnal Lancet juga mengatakan bahwa DBD dan COVID-19 sulit dibedakan “karena mereka memiliki fitur klinis dan laboratorium yang mirip.”

Riset di Brasil –salah satu negara dengan banyak kasus DBD– menyatakan negara harus menanggung pembiayaan hingga 31 miliyar Real Brasil (sekitar Rp 79 trilyun) untuk perawatan 100 ribu pasien DBD di rumah sakit dalam wabah yang terjadi tahun 2010 lalu.

Camilia Lorenz, dari Department of Epidemiology, School of Public Health, Universidade de São Paulo, Brasil menjelaskan dengan lebih 150 juta warga Brasil yang bergantung pada sistem kesehatan nasional, situasi DBD dan COVID-19 bisa sangat kritis. Dalam tulisannya di jurnal Travel Medicine and Infectious Disease (2020) dijelaskan COVID-19 sudah memberi pembebanan yang sangat besar untuk sistem kesehatan, “Jika ditambah dengan demam dengue, beban yang dipikul akan semakin berat.”

Kenali perbedaan gejala DBD dan virus corona

Jangan salah mengenali gejala demam berdarah, agar penyakit bisa dipantau sejak dini sehingga tidak terjadi kefatalan. Gejala utama DBD yakni demam mendadak tinggi, disertai dua atau lebih gejala berikut:

  1. Sakit kepala
  2. Nyeri di belakang mata
  3. Pegal
  4. Nyeri tulang
  5. Ruam merah di kulit
  6. Perdarahan
  7. Penurunan sel darah putih atau leukopenia (<5.000 sel/mm3)
  8. Trombositopenia atau trombosit rendah (<150.000 sel/mm3)
  9. Peningkatan hematokrit (5-10%)

Demam pada DBD sangat khas, dengan siklus yang menyerupai pelana kuda. Yakni demam tinggi (> 40°C) pada 3 hari pertama. Hari keempat demam turun. Ini adalah fase kritis. Bisa terjadi perdarahan, syok, hingga kegagalan organ, yang bisa berujung pada kematian. Hari kelima demam kembali naik sedikit, lalu sembuh di hari keenam.

Kecurigaan terhadap DBD bisa diperkuat dengan pemeriksaan darah untuk virus dengue. Tingkatkan kewaspadaan bila ada yang kena DBD di lingkungan sekitar.

Demam juga diketahui sebagai gejala infeksi virus corona. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menjelaskan penderita COVID-19 memiliki rentang gejala yang luas, dari yang ringan sampai berat. Gejala bisa muncul antara 2-14 hari setelah terpapar virus.

Mereka yang terinfeksi COVID-19 menunjukkan gejala antara lain:

  1. Batuk kering
  2. Sesak / kesulitan bernapas
  3. Demam
  4. Nyeri otot
  5. Nyeri tenggorokan
  6. Gangguan / berkurangnya fungsi penciuman atau pengecap

Anak-anak memiliki gejala yang mirip dengan orang dewasa, namun biasanya lebih ringan. Yang tak kalah penting untuk diwaspadai adalah gejala COVID-19 pada lansia (orang lanjut usia), karena umumnya tidak sama.

Proses penuaan menyebabkan tubuh merespons infeksi dengan cara yang berbeda. Respons imun para lansia lebih ‘tumpul’ dan kemampuan tubuh mereka untuk mengatur suhu juga berkurang. Gejala bisa muncul sebagai kebingungan / disorentasi, tidur lebih lama dari biasanya, tidak memiliki selera makan, bahkan pingsan. (jie)

Baca : Anak Lebih Tahan Terhadap Corona, Tapi Bisa Menularkan ke Orang Tua

            Kebingungan dan Kelelahan Bisa Jadi Gejala COVID-19 pada Lansia