Kafein dalam kopi tidak hanya terbukti meningkatkan mood di pagi hari, tetapi zat aktif kopi ini juga bisa membantu mereka yang sedang depresi.
Depresi, kerap dihubungkan dengan masalah kurang beriman atau tidak bersyukur, padahal ini telah lama diketahui sebagai penyakit mental yang bisa diobati/terapi. Kerap kali pengobatannya adalah gabungan antara terapi psikologis dan obat medis.
Penelitian juga menyatakan bila kafein, terutama dalam kopi juga bermanfaat untuk penderita depresi. Orang cenderung mengalami gejala depresi yang tidak terlalu parah ketika mereka minum kopi. Tidak heran bila mereka mengganggap kopi mampu menurunkan risiko depresi.
Bisakah kopi mengobati depresi?
Sebuah studi di jurnal Public Health Nutrition tentang hubungan antara kafein (kopi, teh, minuman berkafein) dan depresi, menemukan bila konsumsi kopi menurunkan risiko depresi.
Namun, tidak ditemukan hubungan antara asupan teh dan minuman berkafein lain. Temuan tersebut mengindikasikan ada zat lain dalam kopi – selain kafein – yang menurunkan risiko depresi.
Analisis dari 12 penelitian (melibatkan data 346.913 individu dengan 8.146 orang di antaranya depresi) menyimpulkan bila kafein, terutama di kopi, memiliki efek perlindungan terhadap depresi.
Bahkan riset tahun 2019 yang melibatkan 80.173 subyek menyatakan bila minum satu hingga empat cangkir kopi per hari signifikan mengurangi keinginan bunuh diri pada wanita.
Tetapi konsumsi kafein pada anak-anak dan remaja menunjukkan hasil yang sebaliknya: ditemukan meningkatkan risiko depresi pada anak siswa kelas 5 dan 10. Riset di Journal of School Health ini menjelaskan kafein mempengaruhi kualitas tidur, berakibat pada mood yang buruk.
Sebagaimana diketahui konsumsi kopi berlebih bisa memicu agitasi, tremor, gugup dan sulit tidur. Semua gejala ini berakibat buruk pada suasana hati.
Anna Carlotta, dkk, melihat konsumsi kafein dosis rendah berhubungan dengan pengurangan risiko depresi pada subyek sehat dan perbaikan banyak gejala klinis (fokus, gairah, kinerja psikomotorik) pada pasien depresi.
Sedangkan dosis tinggi akan menyebabkan disregulasi timus (organ yang memroduksi hormon), mendukung keadaan afektif campuran, dan memperburuk irama sirkadian dan gejala kecemasan.
Sebagai informasi, afektif adalah istilah yang berkaitan dengan aspek emosi, perasaan dan perubahan suasan hati. Sedangkan irama/ritme sirkadian adalah jam biologis tubuh yang mengatur siklus tidur - bangun (beraktivitas) dalam 24 jam.
Reviu tersebut menyoroti kecenderungan peningkatan kecemasan, terutama pada wanita dengan depresi pascamelahirkan dan di antara mereka yang rentan terhadap serangan panik.
Kenapa kopi menurunkan risiko depresi lebih baik dari teh?
Selain kafein, kopi mengandung asam klorogenat, asam ferulat dan asam kafeik. Asam ini bisa mempengaruhi peradangan sel saraf yang terjadi di otak penderita depresi.
Ini dapat meredakan beberapa ketidaknyamanan dan distress yang ditimbulkan oleh depresi; beberapa di antaranya terjadi karena peradangan.
Tidak semua teh kurang efektif menurunkan risiko depresi, dibandingkan kopi. Penelitian tahun 2014 di Jepang juga menjelaskan bila teh hijau – yang tinggi antioksidan – sama efektifnya dengan kopi dalam melindungi dari depresi. Teh hijau mengandung asam folat, yang juga bisa membantu mengatasi depresi.
Waspadai efek widrawal
Kafein merupakan stimulan. Sehingga Anda bisa mengalami gejala widrawal (misalnya, sakit kepala) jika tidak mendapatkannya. Sayang gejala ini bisa tumpang tindih dengan gejala depresi dan kecemasan.
Kafein memberikan dorongan mood sementara ke sistem saraf pusat. Orang dengan depresi bisa mengalami gejala mood yang lebih berat seiring hilangnya efek stimulan tersebut.
Walau terbukti kopi bisa menurunkan risiko depresi, mereka yang rentan depresi dianjurkan mengonsumsi dosis secukupnya (2-3 cangkir per hari). (jie)