bisnis herbal di masa pandemi saat ini

Menilik Potensi Bisnis Herbal Di Musim Pandemi

Pandemi COVID-19 menghadirkan kesempatan di tengah kesulitan yang melanda di berbagai sisi. Kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan, meningkatkan daya tahan tubuh dan mencegah penyakit kronis semakin tinggi.

Daily Social Wellness Report 2019 melaporkan sebelum pandemi COVID-19 sudah terjadi perubahan tren gaya hidup menjadi lebih sehat. Ada peningkatan keinginan untuk hidup lebih bugar. Kemudian, saat pandemi belangsung (dari Februari – Juni 2020) terjadi peningkatan konsumsi suplemen kesehatan.

Laporan ini juga menyatakan pasca COVID-19 diperkirakan trauma pandemi akan melahirkan perilaku untuk lebih memerhatikan kesehatan terus berlangsung.

Terlebih lagi, saat ini tidak sedikit masyarakat yang kembali ke bahan alami untuk menjaga kesehatannya dalam jangka panjang, dibandingkan memakai produk medis yang menggunakan bahan kimia.

“Masyarakat akhirnya suka atau tidak mulai menyukai jamu atau obat tradisional,” ujar Dwi Ranny PZ SE, MH, Ketua Pusat Gabungan Pengusaha (GP) Jamu dalam webinar Sukses Bisnis Herbal di Musim Pandemi, Rabu (2/6/2021).

Kondisi ini membuat industri jamu punya peluang untuk berkembang. Dwi Ranny menambahkan setiap pengusaha jamu / industri jamu perlu menjaga komitmen agar perusahaan tetap bisa berproduksi.

Pertama, komitmen terhadap karyawan terkait hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Kedua dan ketiga, Komitmen terhadap penyuplai serta distributor. Keempat, komitmen terhadap konsumen untuk menyediakan produk yang berkhasiat dan aman.                                                                                                                                                           

“Terkait produk, bahan bakunya harus berkualitas. Itu tidak mudah untuk menentukan bahan baku yang berkualitas. Misalnya, jahe merah Lampung bergeser sedikit ke Bengkulu sudah beda sekali zat aktifnya. Tidak mudah tetapi tetap harus dilakukan demi keamanan konsumen dan kepentingan usaha,” tekan Dwi Ranny.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Asosiasi Pengusaha Herbal Muslim Indonesia (APHMI) Warsono menjelaskan, selama pandemi COVID-19 walau sempat terjadi penurunan daya beli masyarakat, tetapi pelaku UMKM (Usaha Menengah, Kecil dan Mikro) berkembang pesat.

“Prospek herbal sangat baik, sesuai anjuran ketua BPOM untuk mengonsumsi herbal dan suplemen kesehatan yang aman, bermanfaat dan bermutu tinggi, sebagai upaya preventif di masa pandemi. Ini peluang yang luar biasa,” imbuh Warsono.

Sukses bisnis herbal

Menurut Agus Pramono SSi, Apt, MM, selaku New Product Development Manager PT Indofarma Tbk, pada tahun 2018 belanja kesehatan per kapita orang Indonesia sekitar 112 USD. Sebagai pembanding belanja kesehatan per kapita Malaysia mencapai 3,8 kali dan Thailand 2,5 kali.

Namun begitu, menurut Agus, Indonesia punya potensi pasar yang baik karena jumlah penduduknya (270,6 juta jiwa) dan tren pertumbuhan ekonomi yang bagus.

“Dalam 3-4 tahun ke depan potensi belanja kesehatannya bisa menyamai Malaysia, karena itu sejauh mana perusahaan herbal bisa menyiapkan untuk 3-4 tahun ke depan,” tutur Agus. “Produk-produk herbal diharapkan bisa mensubsitusi 10-20% pasar farmasi (obat-obat kimia) di Indonesia.”

Sementara itu Arief Pramuhanto, Direktur Utama PT Indofarma Tbk, mengatakan selama pandemi penjualan produk-produk yang sifatnya wellness, seperti jamu dan multivitamin semakin meningkat karena kesadaran masyarakat akan kesehatan juga membaik.

“Kalau dilihat dari potensinya, omzet (penjualan produk herbal) di tahun 2013 sudah Rp. 14 Trilyun, tahun 2020 data sementara menunjukkan Rp. 20 Trilyun, tahun 2021 harapannya akan meningkat lagi.”

Tetapi sebagai catatan, usaha herbal / jamu bisa terus tumbuh bila memerhatikan beberapa tahapan, mulai dari pemilihan bahan baku, proses produksi, channel management dan bagaimana memilih segmen customer

“Salah satu tantangan bisnis herbal adalah bagaimana mendapatkan bahan baku yang bekualitas baik, kuantitasnya selalu ada. Dan paling penting adalah kontinuitasnya,” urai Arief. “Tentang channel management perhatikan produknya mau masuk di mana saja, apakah apotek, toko obat atau di market place atau sosial media.

Proses produksi diharapkan memenuhi kriteria Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) dan kehalalan. “Tak kalah penting adalah keunikan produk (dibandingkan produk sejenis) dan seberapa besar manfaat produk bagi konsumen,” pungkas Arif. (jie)

__________________________________________________________

Ilustrasi: Background photo created by jcomp - www.freepik.com