kopi mempengaruhi mikrobioma usus
kopi mempengaruhi mikrobioma usus

Kopi Mendukung Flora Usus, Membantu Menjaga Kesehatan Pencernaan

Seiring meningkatnya popularitas kopi, studi tentang kopi terus bermunculan. Terbaru menyatakan bahwa minum kopi bisa mempengaruhi mikrobioma usus, ini lingkungan mikroorganisme seperti bakteri yang menghuni saluran cerna kita. 

Peneliti secara khusus menemukan bila peminum kopi memiliki level bakteri strain tertentu – Lawsonibacter asaccharolyticus – signifikan lebih tinggi, dibanding mereka yang tidak ngopi. 

Walau pemahaman tentang L. asaccharolyticus masih terbatas (bakteri ini baru ditemukan beberapa tahun lalu), peneliti dari University of Trento (Italia), Nicola Segata, PhD, menjelaskan ada kemungkinan bila bakteri ini berkontribusi terhadap potensi kemampuan kopi untuk melindungi jantung, otak dan aspek kesehatan lainnya. 

Namun yang pasti, para ahli sepakat bila keseimbangan ekosistem mikroorganisme usus – disebut flora normal usus – yang seharusnya didominasi oleh bakteri baik (probiotik) berpengaruh pada kesehatan, mulai dari meningkatkan penyerapan nutrisi, menjaga sistem imun, mencegah alergi, bahkan berhubungan dengan mood dan otak.  

“Penelitian terkait mikrobiota usus sangat menarik, dan semakin banyak yang kita pelajari, semakin membuktikan betapa luasnya dampak mikrobiota pada setiap aspek kesehatan kita,” ujar dietisien Kelsey Russell-Murray, MS, RD, yang tidak terlibat riset tersebut, melansir Health.

Hubungan konsumsi kopi dan kesehatan pencernaan 

Riset yang diterbitkan di jurnal Nature Microbiology (November 2024) ini didasarkan pada temuan bahwa kopi punya hubungan ‘makanan-mikrobioma’ terkuat dibandingkan lebih dari 150 makanan dan minuman lain. 

“Makanan tunggal yang memiliki dampak paling banyak pada komposisi mikrobioma -sejauh ini yang diketahui- adalah kopi,” terang Segata, profesor dan dan kepala laboratorium okupasi metagenomik di University of Trento. 

Tertarik dengan fakta ini, tim peneliti mendesain studi untuk melihat bagaimana kopi berinteraksi dengan mikrobioma usus lebih detail. Riset ini melibatkan 23.115 partisipan, di mana flora ususnya dianalisa secara metagenomik, suatu teknik yang dapat menjabarkan komposisi mikrobioma usus berdasarkan pengurutan kandungan genetik sampel tinja. Mereka juga mengisi kuisioner tentang konsumsi kopi mereka. 

“Salah satu keuntungan saat kita bekerja terkait kopi, tetapi tidak di banyak jenis makanan lain, adalah relatif mudah untuk mendapat informasi akurat tentang kebiasaan minum kopi,” Prof. Segata menjelaskan. “Sebagian besar dari kita antara jarang minum kopi atau mengonsumsinya satu hingga tiga kali sehari, dan biasanya jenis kopi yang sama.” 

Peneliti membagi peserta berdasarkan konsumsi kopi: mereka yang minum kurang dari tiga cangkir per bulan – dikategorikan sebagai kelompok yang “tidak pernah”; partisipan yang minum lebih dari 3 cangkir per hari masuk kategori “tinggi” dan mereka di antaranya masuk dalam kelompok “sedang”. 

Setelah menganalisa flora usus tiap-tiap kelompok, peneliti mengisolasi L. asaccharolyticus, sebagai mikroorganisme yang paling berhubungan dengan asupan kopi. 

Pada kelompok “tinggi” jumlah L. asaccharolyticus berkisar antara 4,5 hingga 8 kali lipat, dibandingkan kelompok “tidak pernah”. Dan 3,4 hingga 6,4 kali lebih tinggi pada kelompok “sedang”, dibandingkan grup “tidak pernah”. Perbedaan antara kelompok “tinggi” dan “sedang” hanya 1,4 kali, tidak signifikan secara statistik.  

Hubungan ini konsisten terlepas populasi dan status kesehatan partisipan. Berarti temuan ini “agak independen dari jenis kopi dan komposisi makanan secara umum,” jelas Prof. Segata. 

Selain itu, hasil riset ini juga divalidasi menggunakan percobaan test-tube, yang mengisolasi L. asaccharolyticus dan menganalisa pertumbuhannya ketika disuplementasi dengan kopi. Bakteri ini tumbuh pada minuman kopi berkafein dan tanpa kafein, yang menunjukkan temuan tersebut tidak selalu berhubungan dengan kafein. 

“Menumbuhkan bakteri ini secara in vitro (di cawan petri), kami telah melihat bahwa bakteri ini tumbuh lebih cepat jika Anda menambahkan kopi ke dalam media kultur,” ujar salah satu peneliti Paolo Manghi, PhD.  (jie)

Baca juga: Kopi Paling Sehat untuk Jantung Menurut Studi, Perhatikan Penyeduhannya