Kasus DBD Ada Sepanjang Tahun, di Musim Hujan maupun Kemarau
kasus_DBD_musim_kemarau

Kasus DBD Ada Sepanjang Tahun, di Musim Hujan maupun Kemarau

Peningkatan kasus DBD (demam berdarah dengue) biasanya terjadi di musim hujan. Namun jangan salah, ancaman penyakit ini ternyata ada di sepanjang tahun, tanpa memandang musim.

Penelitian yang dilakukan oleh University of Cincinnati (Amerika Serikat) menemukan, cuaca kering/panas membuat nyamuk dehidrasi, dan hal ini membuat mereka lebih sering menggigit. Menurut penelitian tersebut, rasa haus membuat beberapa spesies nyamuk menggigit hingga 5x lipat lebih sering.

Hal senada disampaikan oleh dr. Imran Pambudi, MPPH, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Direktorat Jenderal P2P, Kementerian Kesehatan RI. “Jadi, kita dapat penelitian, waktu suhunya 25 derajat celcius itu nyamuk menggigitnya 5 hari sekali. Tapi, kalau suhunya 20 derajat celcius, nyamuk akan menggigit 2 hari sekali. Ini dapat meningkatkan potensi kasus terjadi saat Juli dan Agustus saat suhu udara tinggi,” tutur dr. Imam, dilansir dari sehatnegeriku.kemkes.go.id.

Ia juga menyebut, kasus DBD di Indonesia mengalami pemendekan siklus. Hal ini berdampak pada peningkatan Incidence Rate (IR) dan penurunan Case Facility Rate (CFR). “Terjadi pemendekan siklus tahunan dari 10 tahun menjadi 3 tahun bahkan kurang, yang disebabkan oleh fenomena El Nino,” ucap dr. Imran.

Vaksin bisa Menekan Kasus DBD dan Beban Biaya yang Ditimbulkannya

Data Kementerian Kesehatan RI sampai dengan 5 Mei 2024 mencatat, terjadi 91.269 kasus DBD di Indonesia dengan kematian sebanyak 641 kasus. Angka ini naik tiga kali lipat dari periode yang sama di tahun 2023 yaitu 28.579 kasus dengan kematian sebanyak 209.

Berbagai upaya untuk mengatasi DBD telah dilakukan sejak dulu. Kita tentu sudah sangat familiar dengan Gerakan 3M Plus. Selain itu juga dilakukan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J) yang telah terbukti membantu menekan kasus DBD di banyak daerah, hingga teknologi nyamuk ber-Wolbachia yang telah diimplementasikan di beberapa wilayah di Indonesia.

Upaya-upaya tersebut bukannya tanpa hasil; tampak bahwa kasus DBD dan angka kematian akibat penyakit tersebut telah jauh menurun dibandingkan beberapa dekade lalu. “Namun demikian, kasus dengue yang meningkat sangat signifikan di awal tahun ini, menjadi alarm bagi kita semua untuk dapat mencari solusi inovatif yang dapat melengkapi upaya-upaya tersebut. Salah satu yang sedang dipertimbangkan adalah dengan mengenalkan vaksin, khususnya di daerah-daerah dengan intensitas DBD tinggi,” ujar dr. Imran.

Menurut Prof. dr. Jarir At Thobari, D.Pharm., Ph.D dari Universitas Gadjah Mada, vaksinasi tak sekadar mampu menurunkan kasus DBD. Ia menjelaskan, penanganan endemik penyakit seperti demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia melalui strategi vaksinasi dapat memberikan dampak signifikan dalam menekan jumlah kasus dan mengurangi beban biaya kesehatan. “Hasil kajian efektivitas biaya yang kami lakukan baru-baru ini menunjukkan bahwa vaksinasi DBD tidak hanya menghemat biaya dari perspektif pelayanan kesehatan dan masyarakat, tetapi juga memberikan manfaat kesehatan yang substansial dengan mengurangi jumlah kasus DBD dan rawat inap,” papar farmakoepidemiologi dari UGM itu.

Ia melanjutkan, temuannya sejalan dengan rekomendasi terbaru dari WHO yang mendukung penggunaan vaksinasi sebagai bagian dari program kesehatan publik. “Implementasi program vaksinasi DBD di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mengurangi beban ekonomi akibat penyakit ini,” tandasnya.

Beban yang ditimbulkan oleh penyakit DBD bisa sangat besar besar, baik secara finansial maupun non-finansial. “Bagi seorang individu dan keluarga, DBD meningkatkan kekhawatiran. Apalagi penyakit ini mengancam jiwa dan sampai saat ini masih belum ada obat khusus untuk mengobatinya,” ungkap Andreas Gutknecht, Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines.

Biaya pengobatan untuk DBD juga tidak sedikit. Terlebih, biasanya memerlukan waktu 7-14 hari untuk perawatan dan pemulihan, sehingga dapat menyebabkan seseorang kehilangan produktivitasnya. Hal ini turut berdampak pada industri atau perusahaan yang juga akan mengalami penurunan produktivitas dan peningkatan beban biaya yang cukup tinggi. Perlindungan diri yang komprehesif menjadi penting untuk dapat terhindar dari beban penyakit tersebut.

Penelitian telah membuktikan bahwa vaksin DBD mampu mengurangi risiko komplikasi yang serius akibat virus dengue. Namun vaksinasi tidak bisa menggantikan upaya yang sudah kita lakukan selama ini. Pencegahan DBD rutin melalui 3M Plus dan Jumantik untuk memberantas sarang nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor virus dengue tetap wajib dilakukan, dan vaksin DBD menjadi “senjata” tambahan. (nid)

___________________________________________

Ilustrasi: Image by jcomp on Freepik