Vaksinasi Penting bagi Indonesia, tapi Bukan Pengganti Kebijakan Pengendalian COVID-19

Vaksinasi Penting bagi Indonesia, tapi Bukan Pengganti Kebijakan Pengendalian COVID-19

Andree Surianta, Australian National University

Setelah gagal mengendalikan laju penularan COVID-19 dalam 10 bulan terakhir, pemerintah Indonesia tampaknya menjadikan kebijakan vaksinasi massal sebagai tumpuan harapan untuk menang melawan virus corona.

Ada kesan bahwa vaksin diharapkan menebus kegagalan berbagai usaha pengendalian sebelumnya yang tidak menunjukkan hasil. Padahal, kegagalan ini lebih disebabkan oleh kebijakan yang kurang tepat atau implementasi yang tidak konsisten.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat mengingatkan bahwa vaksin hanya salah satu alat pengendalian COVID-19. Kesuksesan menekan laju pandemi bukan hanya ditentukan oleh adanya vaksin, tapi juga pelacakan yang tepat dan langkah pencegahan yang konsisten.

Sebagai peneliti kebijakan publik dan orang yang pernah terinfeksi virus corona, saya melihat bahwa euforia dengan vaksinasi berpotensi mengendorkan upaya-upaya pengendalian yang telah dijalankan selama ini, yang sebenarnya juga belum optimal.

Apalagi Kementerian Kesehatan Indonesia memperkirakan butuh 15 bulan untuk melaksanakan empat gelombang vaksinasi di seluruh wilayah. Belum ada indikasi apakah antibodi dari vaksin bisa bertahan selama itu.

Jadi, ada kemungkinan bahwa penerima vaksin gelombang pertama atau kedua sudah tidak lagi kebal saat program selesai. Saat kekebalan memudar, hanya protokol kesehatan yang bisa menekan penularan.

Karena itu, menjelang pelaksanaan vaksinasi di negeri ini pemerintah perlu memperbaiki prosedur skrining, meningkatkan kapasitas pelacakan, dan menggiatkan protokol kesehatan pribadi untuk mengoptimalkan pengendalian COVID-19.

Skrining mencari virus atau antibodi?

Dalam pelaksanaan skrining untuk mendeteksi orang yang membawa virus, tes cepat (rapid detection test/RDT) lebih populer digunakan daripada PCR karena lebih cepat dan lebih murah.

Padahal, RDT antibodi tidak mendeteksi virus melainkan antibodi yang melawan virus. Dalam praktiknya, saat seseorang dites antibodi menunjukkan hasil reaktif, mereka dites lanjutan pakai tes PCR. Namun, ada kemungkinan seseorang yang melakukan tes antibodi kurang dari dua minggu sesudah terjangkit virus mendapati RDT antibodinya non-reaktif dan lolos skrining tanpa perlu menjalani tes PCR lagi.

Karena itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) menegaskan bahwa tes antibodi tidak boleh digunakan untuk mengevaluasi apakah seseorang sedang terinfeksi dan bisa menularkan. WHO juga tidak merekomendasikan RDT antibodi sebagai alat skrining virus dan standar terbaik alat pelacak COVID-19 adalah tes PCR.

Pemerintah perlu segera meluruskan salah kaprah metode skrining ini. RDT antibodi lebih tepat digunakan untuk menguji keberhasilan program vaksinasi, bukan untuk skrining.

RDT antigen: alat baru pelacakan pandemi

Vaksin diharapkan menghasilkan kekebalan pada penerimanya tapi proses ini memerlukan waktu. Untuk COVID-19, rata-rata setiap orang memerlukan dua dosis yang terpisah beberapa minggu.

Maka, pelacakan–dengan metode yang tepat–tetap harus dilaksanakan selama program vaksinasi untuk tetap menjaga kewaspadaan masyarakat.

Kehadiran RDT antigen bisa dipertimbangkan sebagai pengisi kekurangan kapasitas pelacakan di Indonesia. Tes ini baru mulai dikenal masyarakat Indonesia Desember lalu sebagai pengganti RDT antibodi untuk syarat perjalanan ke Jawa dan Bali.

Di Amerika Serikat, tes ini sudah dinyatakan sebagai salah satu tes yang bisa digunakan untuk diagnosa COVID-19 sejak Juli lalu. Di India, tes ini adalah kunci peningkatan kapasitas diagnosis dari sekitar 300.000 orang per hari pada Juli 2020 menjadi lebih dari satu juta orang per hari sebulan kemudian.

RDT antigen dapat mendeteksi keberadaan protein virus dalam saluran pernapasan melalui tes usap dalam waktu kurang dari 30 menit. Jadi tes ini cara kerjanya mirip dengan PCR – walau yang dicari berbeda – tapi dengan kecepatan seperti RDT antibodi.

Untuk keperluan melacak virus, tes antigen ini lebih tepat sasaran dibanding tes antibodi.

Sambil mengupayakan lebih banyak tes PCR, RDT antigen bisa digunakan untuk menambal kekurangan kapasitas skrining via PCR.

Pemerintah perlu mempertimbangkan perluasan tes ini ke skala nasional, bukan hanya di Jawa dan Bali. WHO pun telah menyetujui penggunaan RDT antigen untuk pelacakan COVID di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Terus tekankan protokol kesehatan

Keberadaan vaksin bukan berarti protokol kesehatan bisa ditinggalkan.

Penerima vaksin tetap rentan tertular selama masa tunggu dan bahkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika menyarankan untuk tetap menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak walau sudah selesai divaksin. Pasalnya, keampuhan vaksin yang saat ini disuntikkan berbagai negara belum benar-benar diketahui berapa lama antibodi akan bisa bertahan dalam tubuh.

Pengembangan vaksin COVID-19 yang luar biasa cepat berarti belum cukup waktu untuk mengamati ketahanan antibodi yang dihasilkan.

Para ahli kesehatan memperingatkan bahwa kehadiran vaksin tidak akan serta merta menghapuskan COVID-19. Keberadaan vaksin tetap harus dibarengi dengan perbaikan kebijakan skrining, peningkatan kapasitas diagnosis, dan implementasi protokol kesehatan sebagai gaya hidup baru.

Cepat-lambatnya pandemi ini dikendalikan bukan tergantung pada vaksin saja, tapi juga pada komitmen terhadap pelaksanaan kebijakan pengendalian yang sudah ada.

The Conversation

Andree Surianta, PhD Candidate in Public Policy, Australian National University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

____________________________________________

Ilustrasi: Food photo created by senivpetro - www.freepik.com