Ternyata masih banyak masyarakat yang belum memahami manfaat vaksinasi sebagai salah satu strategi pengendalian pandemi. Di media sosial sebagian orang mempertanyakan walau sudah divaksin lengkap (2 kali) tetapi masih terpapar COVID-19.
Satu hal yang perlu dipahami adalah baik virus COVID-19 dan vaksinnya adalah hal yang baru. Sebagai pengingat, virus SARS-CoV-2 terdeteksi akhir 2019 di Wuhan, China, kemudian di pertengahan tahun 2020 perusahaan farmasi mulai mengembangkan vaksin COVID-19. Awal tahun ini vaksinasi digelar diseluruh dunia. Tetapi banyak hal tentang virus corona dan vaksinnya yang masih dipelajari.
Prof. Hindra Irawan Satari, Ketua Komnas KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi), menjelaskan sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) vaksin bisa dipakai bila memiliki efektivitas minimal 50%.
“Kita tahu efektivitas vaksin 50% menurut WHO sudah cukup, sedangkan kita pakai Sinovac yang kekebalannya 59%, jadi kita masih mungkin terkena. Namn kalaupun terkena, tidak menyebabkan kematian, tidak menyebabkan harus masuk ICU, tidak perlu dirawat, gejala lebih ringan dan lama penyembuhan pun lebih singkat,” terang Prof. Hindra.
Selain itu lewat vaksinasi – seberapapun efektivitasnya – juga bisa melindungi orang lain. Dengan konsep herd immunity (kekebalan kelompok) semakin banyak orang yang divaksin, manfaatnya juga dirasakan oleh mereka yang belum divaksin.
“Jangan lupa seseorang untuk seseorang terjadi sakit itu karena keseimbangan 3 faktor: daya tahan tubuh, virusnya sendiri dan lingkungan. Jadi vaksinasi hanya salah satu faktor, daya tahan tubuhnya meningkat,” Prof. Hindra menambahkan.
Faktor mutasi virus dan adanya kerumunan/pergerakan orang yang keluar masuk membawa virus tidak bisa diatasi dengan vaksinasi. “Tetapi lewat protokol kesehatan,” tegas Prof. Hindra seraya menekankan bila imunisasi/vaksinasi adalah upaya tambahan.
Respons kekebalan yang berbeda-beda
Hal lain yang menjadi pertanyaan adalah berapa lama antibodi terhadap COVID-19 bertahan setelah divaksin?
Hingga saat ini para ahli masih terus meneliti seberapa lama vaksinasi mampu memberi perlindungan terhadap paparan virus corona. Lamanya antibodi bertahan dalam tubuh pun bisa berbeda-beda untuk tiap individu.
Prof. Hindra menjelaskan bila respons seseorang terhadap vaksin akan berbeda-beda, ada yang daya lindungnya luar biasa sementara untuk orang lain mungkin biasa saja, minimal, atau bahkan tidak memicu respons antibodi.
“Tetapi lebih banyak yang kebal dan memberi perlindungan yang cukup,” terangnya.
Riset menyatakan bila perlindungan vaksin akan optimal jika seseorang mendapatkan vaksinasi lengkap, misanya 2 kali dengan selang 2 minggu-1 bulan untuk Sinovac, atau 2 kali berselang 3 bulan pada vaksin AstraZeneca.
“Saat ini kita sedang menunggu hasil penelitian apakah daya lindungnya misalnya cukup sampai 6 bulan atau 1 tahun. Atau 1 tahun daya lindungnya sudah tidak ada sehingga harus vaksin lagi,” Prof. Hindra menjelaskan.
Atas dasar tersebut, Prof. Hindra menegaskan tidak perlu periksa ke laboratorium untuk mengetahui kadar antibodi pascavaksin.
“Raegen antibodi itu bermacam-macam, ada ratusan. Tiap laboratorium memakai reagen yang berbeda. Padahal sampai hari ini satuan kadar antibodi belum disepakati. Dan yang harusnya diperiksa adalah neutralizing antibody (antibodi penetral), tidak semua antibodi memberi kekebalan terhadap COVID-19. Yang memberi kekebalan adalah neutralizing antibody. Apa yang tersedia di laboratorium-laboratorium itu tidak menggambarkan yang sebenarnya,” pungkas Prof. Hindra. (jie)