mengenal perburukan gejala covid saat isolasi mandiri
mengenal perburukan gejala covid saat isolasi mandiri

Mengenali Perburukan Gejala COVID-19 Selama Isolasi Mandiri di Rumah

Penderita COVID-19 dengan gejala ringan dianjurkan melakukan isolasi mandiri (isoman) di rumah. Namun perjalanan penyakit ini kerap tidak terduga, pasien bisa dengan cepat mengalami perburukan. Penting untuk mengenali gejala-gejala perburukan infeksi corona selama isolasi mandiri.

Sebagai informasi, dalam laporan yang dikeluarkan oleh LaporCovid-19 bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dari Juni 2021 hingga 2 Juli 2021 telah terdapat 265 orang pasien COVID-19 yang meninggal saat menjalani isolasi mandiri.

Mereka yang meninggal tersebut rata-rata melakukan isolasi mandiri sembari berupaya mencari rumah sakit yang bisa menampung mereka. Dalam laporan tersebut kasus kematian tersebar di 47 kota/kabupaten di 10 provinsi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Kepulauan Riau hingga Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dampak virus SARS-CoV-2 bisa berbeda-beda pada setiap orang, dan sering kali tidak terprediksi. Ada yang tidak menunjukkan gejala sama sekali, tetapi tidak sedikit kasus yang menunjukkan perburukan yang berlangsung sangat cepat.

Menurut Kementerian Kesehatan RI, pasien dikategorikan bergejala ringan bila ada tanda-tanda seperti gejala flu: demam, batuk, pilek, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri tenggorokan, mual/muntah, hilang penciuman/perasa. Atau merasa seperti gejala masuk angin.

Pada gejala sedang ditandai dengan gejala ringan plus batuk dan sesak napas, frekuensi napas >20 kali per menit, dan saturasi oksigen <95%. Jika gejala-gejala ini disertai dengan batuk dan sesak napas bertambah berat, saturasi oksigen <90% (kadang belum ada sesak napas; disebut happy hypoxia), cenderung mengantuk, ada kejang/tidak sadar, berarti pasien mengalami gejala berat.

Riset Cevik et al, menyatakan jumlah virus tertinggi di saluran napas atas adalah saat muncul gejala atau dalam satu minggu pertama setelah terinfeksi, dan kemudian di saluran napas bagian bawah.

Studi yang dipublikasikan di jurnal the Lancet ini juga menyatakan perburukan gejala dan kondisi masa kritis biasanya terjadi setelah 5 hari muncul gejala pertama.

Pada hari ketujuh gejala sudah dirasa berat dan pasien biasanya sudah masuk ke rumah sakit. Sesak napas mulai muncul di hari ke delapan, diikuti dengan kondisi kegawatan napas (acute respiratory distress syndrome/ARDS; ditunjukkan adanya penumpukan cairan di kantung udara di paru). Di hari ke 10 pasien harus masuk ke ICU.

Kementerian Kesehatan RI menyatakan mereka yang berisiko tinggi mengalami perburukan saat isolasi mandiri adalah yang berusia di atas 45 tahun dan mereka dengan komorbid seperti diabetes, penyakit ginjal, autoimun, jantung, penyakit paru kronis, kanker, dll. Atau, mereka yang belum divaksin.  

Apa yang harus dilakukan saat isolasi mandiri

Bila Anda merawat keluarga, terutama lansia atau dengan komorbid, saat isolasi mandiri, pastikan sejak awal muncul gejala segera konsultasi ke dokter (puskesmas terdekat atau melalui layanan telemedicine).

Baru-baru ini pemerintah telah merekomendasikan 11 aplikasi telemedicine yang bisa diakses dalam 24 jam. Ke 11 platform telemedicine tersebut antara lain Alodokter, GetWell, Good Doctor, Halodoc, KlikDokter, KlinikGo, Link Sehat, Milvik Dokter, ProSehat, SehatQ dan YesDok.  

Selain itu penting untuk tiap hari memonitor kondisi vital pasien, meliputi suhu badan, tekanan darah dan saturasi oksigen. Jika memungkinkan sediakan tabung oksigen.

Baca: Wajib Siapkan Alat Ini Jika Sedang Isolasi Mandiri di Rumah

Atau bila terjadi sesak napas dan tidak ada oksigen, pasien disarankan melakukan teknik proning (tengkurap). Posisi ini membantu menambah oksigen.

Sebuah studi yang diterbitkan di Pulmonology Journal menyebut melakukan posisi tengkurap pada pasien COVID-19 yang sadar dan bernapas spontan berkaitan dengan penurunan tingkat intubasi (prosedur medis untuk membantu pernapasan pasien).

Pasien dengan proning menunjukkan perbedaan menguntungkan dalam hal hari tanpa alat pendukung pernapasan, lama perawatan intensif dan tinggal di RS.

Riset lain yang diterbitkan di Annals of Intensive Care menemukan ada peningkatan oksigenasi berkelanjutan setelah sesi proning pertama secara independen yang berkaitan dengan peningkatan kelangsungan hidup dan pengurangan durasi ventilasi mekanis pada pasien COVID-19 kritis.

Aturan melakukan proning:

  1. Hindari proning selama 1 jam setelah makan. Lakukan sekitar 30 menit.
  2. Terus lakukan proning selama gejala bisa ditoleransi.
  3. Bantal bisa disesuaikan untuk mengubah area tekanan dan untuk kenyamanan.
  4. Pantau tiap luka tekan atau cedera terutama di sekitar tonjolan tulang.
  5. Proning tidak boleh dilakukan pada ibu hamil, kondisi deep vein thrombosis atau DVT (penggumpalan darah pada pembuluh darah vena), kondisi masalah jantung parah, tulang belakang tidak stabil, patah tulang paha atau pelvis. (jie)