Hipertensi merupakan penyakit metabolisme nomor 1 dengan jumlah penderita paling banyak di Indonesia, bahkan melebihi jantung dan diabetes. Pencegahan hipertensi bisa dimulai dengan pengukuran tekanan darah di rumah, baik untuk penderita hipertensi atau mereka dengan tekanan darah normal.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2018) diperkirakan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 34,1%, ini berarti sekitar 63.309.620 orang di Indonesia terkena hipertensi. Angka tersebut belum mengalami perubahan selama 3 dekade terakhir.
Hipertensi bukan hanya penyakit yang dapat diderita oleh orang tua. Hipertensi pada usia muda juga cukup mengkhawatirkan sehingga perlu adanya kesadaran untuk mencegahnya sejak dini.
Data American Heart Association Journals menyebutkan bahwa tingginya tekanan darah di usia muda sangat berbahaya karena diketahui berperan besar terhadap munculnya kasus penyakit jantung koroner, gagal jantung, serangan jantung, dan stroke pada usia lebih dini.
Dr. Erwinanto, Sp.JP (K), FIHA, FAsCC, Ketua Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (InaSH) mengatakan, tekanan darah harus dikendalikan baik bagi pasien hipertensi maupun individu non hipertensi.
“Bagi individu yang bukan penyandang hipertensi, tekanan darah juga perlu dikendalikan untuk mencegah terjadinya hipertensi. Peningkatan tekanan darah tidak hanya pada yang hipertensi, pada non hipertensi juga terjadi walau tidak secepat yang hipertensi,” terangnya dalam peringatan Hari Hipertensi Sedunia 2022, Selasa (17/5/2022).
Setiap peningkatan tekanan darah sebesar 20/10 mm Hg, dimulai dari tekanan darah 115/75 mm Hg, berhubungan dengan peningkatan kematian akibat penyakit jantung koroner dan stroke sebesar 2 kali. Peningkatan tekanan darah juga meningkatkan kejadian penyakit ginjal secara bermakna.
Periksa tensi di rumah
Dr. Eka Harmeiwaty, SpS, Wakil Ketua InaSH, mengatakan, dengan bertambahnya usia maka risiko hipertensi meningkat. “Risiko hipertensi meningkat tajam pada usia 45 tahun. Pemeriksaan tekanan darah secara regular disarankan dimulai pada usia 18 tahun, terutama yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi atau penyakit kardiovaskular,” katanya.
Pasien diabetes juga berisiko mengalami hipertensi sehingga dengan demikian harus di lakukan pemeriksaan darah berkala untuk mendeteksi adanya hipertensi.
Pengukuran tekanan darah di rumah (PTDR) sangat disarankan sebagai upaya pencegahan hipertensi dan memonitor hasil pengobatan pada penderita hipertensi.
Pengukuran tekanan darah di rumah juga bermanfaat mengatasi fenomena hipertensi ‘jas putih (white-coat hypertension)’, di mana terjadi kenaikan tensi saat periksa di klinik namun normal kembali saat di luar klinik.
Perhatikan beberapa hal berikut saat melakukan pengukuran tekanan darah di rumah:
Tahap persiapan
- Duduk santai di kursi, punggung bersandar dan kedua kaki menapak ke lantai. Duduk 3 – 5 menit sebelum memulai pengukuran.
- Jangan minum kopi, olahraga atau merokok 30 menit sebelum pengukuran dimulai.
- Kandung kemih kosong.
Posisi alat ukur
- Letakkan tangan di atas meja dengan santai. Posisi lengan sejajar jantung.
- Tidak berbicara selama dan di antara pengukuran.
- Besar/kecil manset sesuai ukuran lengan.
Pengukuran yang benar
- Ukur tekanan darah di kedua tangan untuk pertama kali. Pilih lengan dengan ukuran tensi yang lebih tinggi untuk selanjutnya.
- Ukur 3 kali berurutan dengan jeda 1-2 menit.
- Jika menggunakan alat pengukur aneroid (analog) kempiskan manset 2 mmHg/detik.
- Catat dan rata-rata dua pengukuran terakhir.
Dr. dr. Amanda Tiksnandi, SpS, pengurus InaSH menambahkan pengukuran tekanan darah di rumah dilakukan 2 kali (pagi dan malam), setiap pengukuran lakukan 3 kali.
Bila pengukuran di rumah mendapati rerata tekanan darah lebih dari 135/85 mmHg dikategorikan sebagai hipertensi, dr. Amanda menerangkan. Sebagai informasi, patokan hipertensi sedikit berbeda dengan pengukuran di klinik, yakni 140/90 mmHg.
“Pengukuran pagi adalah 1 jam setelah bangun, setelah kencing dan sebelum minum obat tensi. Malam hari sebelum tidur. Kalau curiga hipertensi, lakukan pemantauan 3 hari berturut-turut,” katanya.
Bisa berhenti minum obat?
Survei May Measurement Month oleh InaSH pada tahun 2017 yang melibatkan partisipan rerata usia 43 tahun menunjukkan hanya 52,5% penyandang hipertensi yang minum obat.
Di satu sisi penyandang hipertensi yang sudah minum obat, kerap memutuskan untuk berhenti pengobatan saat merasa tensinya normal. Padahal, “Tensinya normal karena minum obat penurun tensi,” terang Prof. dr. Rully M.A. Roesli, SpPD-KGH, PhD, Advisory Board InaSH.
Selain itu, ada ketakutan kerusakan ginjal bila akibat konsumsi obat hipertensi terus-menerus. Faktanya, kerusakan ginjal disebabkan oleh tekanan darah yang tidak diobati / tidak terkontrol.
“Kalau tidak terkontrol tinggal pilih, stroke, gagal jantung, cuci darah. Atau mau sehat. Kalau mau sehat perhatikan tekanan darahmu dari sekarang. Dan jangan merubah dosis sendiri, harus atas indikasi dokter,” tutup Prof. Rully. (jie)