Virus corona diketahui menyerang saluran napas, menimbulkan gejala mulai dari radang tenggorokan, batuk pilek, hilang penciuman/perasa, saturasi oksigen berkurang, dan sesak napas. Penelitian juga menunjukkan virus corona mempu merusak struktur paru-paru yang terlihat dari hasil CT-scan. Ada ketakutan di antara para penyintas, bisakah “sisa” infeksi corona ini memicu kanker paru.
Perlu diketahui kanker paru terjadi ketika beberapa sel di epitel jaringan bronkus (saluran napas) mengalami perubahan yang membuat mereka tumbuh dan berkembang tak terkendali, membentuk benjolan atau tumor.
Ketua Tim Kerja Onkologi Paru PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), Prof. dr. Elisna Syahruddin PhD, SpP(K) menjelaskan, umumnya kasus kanker paru sulit ditemukan. Seseorang bisa mengidap kanker paru selama 20 tahun tanpa merasakan gejala apapun.
“Biasanya 80% ketemunya di stadium lanjut, 20% ketemu insidentil atau tidak sengaja, misalnya saat cek medis,” terang Prof. Elisna, dalam peluncuran aplikasi PULIH (aplikasi seputar kanker) kerjasama antara Yayasan Kanker Indonesia dan AstraZeneca, Rabu (28/7/2021).
Menjawab ketakutan masyarakat, khususnya penyintas COVID-19, bila pasca infeksi corona bisakah memicu menjadi kanker paru? Prof. Elisna menjelaskan hingga saat ini belum diketahui secara pasti, karena COVID-19 termasuk panyakit baru.
“Belum ditemukan bukti penelitian apakah COVID-19 bisa memicu kanker paru, nanti 20 tahun ke depan jawabannya. Untuk menjadi tumor seukuran 1 cm atau sekitar satu juga sel kanker, butuh waktu berkembang hingga 10 tahun,” terangnya.
Sebagai informasi, pada kanker paru stadium 1A, kanker ditemukan di lapisan terdalam paru. Tumor berukuran tidak lebih dari 3 cm, dan belum menyerang bronkus atau kelenjar getah bening.
Selain perkembangan kanker paru sangat lama, ia juga tidak memicu gejala nyeri. Sebabnya tidak ada saraf nyeri di dalam organ paru. Kecuali bila kanker sudah menyebar mengenai selaput paru atau menembus dinding dada, menimbulkan nyeri dada, Prof. Elisna menambahkan.
Sel kanker bisa dideteksi awal, bila seseorang dengan berisiko tinggi punya kesadaran melakukan screening sebelum muncul gejala.
Kelompok yang tergolong berisiko tinggi adalah punya riwayat kanker dalam keluarga, berusia >45 tahun, perokok aktif/pasif, bekas perokok <10 tahun. Atau mereka yang bekerja di daerah dengan paparan zat karsinogen (tambang, industri asbes, pabrik semen, pemborong bangunan, dll).
“Screening dilakukan dengan CT-scan dosis rendah per 2 tahun sekali, sebelum ada gejala,” imbuh Prof. Elisna.
Penelitian di China
Ada satu penelitian yang mencoba mengetahui bisakah virus corona memicu kanker paru. Studi dilakukan oleh Shao-Lin Tao, dari Department of Thoracic Surgery, Daping Hospital, Army Medical University, China, dan timnya.
Penelitian berpijak pada hipotesis COVID-19 dapat menyebabkan berbagai tingkat peradangan saluran napas kronis (menyerang sel epitel alveolar) dan fibrosis (jaringan parut) di paru yang bisa menyebabkan kanker paru-paru.
Mereka juga melihat adanya mekanisme molekul potensial yang disebabkan oleh infeksi virus corona yang bisa memicu insiden kanker paru.
“COVID-19 mengaktifkan jalur persinyalan PI3K/AKt dan ERK, yang dapat berperan ganda baik sebagai faktor antiperadangan dan karsinogenik. Selain itu, hipoksemia (kadar oksigen dalam darah rendah) dapat berkembang, menghasilkan peningkatan regulasi ekspresi HIF-1, yang dapat terlibat dalam kejadian angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru), invasi dan metastasis kanker paru,” tulis peneliti, melansir Science Direct.
Selain itu, COVID-19 bisa menekan sistem imun sehingga menyebabkan penghindaran kekebalan tumor. “Oleh karena itu kami berspekulasi bahwa COVID-19 dapat menjadi faktor risiko kanker paru sekunder,” peneliti menyimpulkan. (jie)