Berkaca dari Kasus Reynhard Sinaga, Memahami Pikiran Seorang Predator Seksual | OTC Digest

Berkaca dari Kasus Reynhard Sinaga, Memahami Pikiran Seorang Predator Seksual

Publik dikagetkan dengan kasus Reynhard Sinaga, warga Indonesia yang dijatuhi hukuman seumur hidup, setelah terbukti melakukan 159 perkosaan dan serangan seksual pada 48 pria di Inggris. Peristiwa ini bahkan dijuluki sebagai kasus pemerkosaan terbesar dalam sejarah Inggris.

Reynhard Sinaga mulai mencari korbannya (pria-pria muda) sejak Januari 2015 sampai tertangkap pada 2 Juni 2017 di satu kawasan, di pusat kota Manchester, Inggris. Dalam satu kasus, Reynhard hanya memerlukan 60 detik untuk mendapatkan sasaran pria muda. Reynhard, tampak sering tersenyum, ramah dan berperawakan kurus. Penampilan tidak membuat targetnya curiga.  

Media di Inggris menyebut Reynhard sebagai ‘predator seksual’. Sebenarnya bagaimana pikiran seseorang predator seksual? Bagaimana ia memandang korbannya? Dan kenapa menjadi suatu kebutuhan buatnya?

Dalam jurnal online psychology today dijelaskan perilaku seseorang merupakan ‘buah’ dari cara pikir. Proses berpikir seseorang sebagian besar mendefinisikan karakternya.

Menurut Stanton Samenow, PhD, ahli perilaku kriminal dan juga penulis buku Inside the Criminal Mind, pelecehan seksual, kekerasan seks dan perkosaan jelas merupakan pelanggaran seksual. Tetapi mereka tidak berhubungan dengan seks itu sendiri.

Para pelaku yang mengeksploitasi korbannya sangat mungkin memiliki kesempatan melakukan hubungan seksual konsensual yang normal. Predator seksual memiliki banyak pengalaman seksual tetapi dangkal.

“Seks adalah operasi kontrol untuk mereka,” tulis Stanton. “Mereka menentukan waktu dan tempat pertemuan. Mencari penaklukan adalah tujuan utama.”

Pelaku tidak terlalu peduli dengan apa yang dialami "pasangannya". Tujuannya adalah menaklukkan seseorang, bukan menjalin hubungan. Saat si predator mencapai tujuannya, itu memberinya penumpukan kepuasan.

Di alam pikirannya pun ia membayangkan melakukan hubungan seks, memandang perempuan / laki-laki sebagai target potensial.

Saat mendekati target potensial, sang predator membangun pikiran bahwa dirinya tidak dapat ditolak. Dia yakin bahwa setiap calon korbannya akan tertarik padanya. Senyuman ramah calon korban akan mengonfirmasi bahwa ia diinginkan, dan bahwa ia dapat melanjutkan upaya penaklukan.

Dia akan mengekspos dirinya dan berharap bisa membujuk seseorang melakukan hubungan seks. Pelaku mencari tatapan pengaguman dan dengan pintar ‘mengarahkan’ si korban agar memberikan tatapan itu. Dia pun menyukai aksi eksibisionisme.

Penegasan kekuasaan paling kentara pada aksi kekerasan seksual dan perkosaan; pelaku secara paksa mengambil ‘kepemilikan’ dari targetnya. “Sekali lagi tidak ada hubungannya dengan kebutuhan seksual. Karena banyak pria yang memiliki kehidupan seksual yang aktif di rumah masih menyerang orang lain,” tulis Stanton.

Merupakan karakteristik bahwa, baik dalam fantasi maupun aksi, ia merasa paling tertantang (menarik) bila dilakukan dengan kekerasan untuk membuat korbannya takluk.

Lingkungan pekerjaan adalah salah satu area yang ideal, di mana sang predator memiliki keuntungan bila calon korban adalah bawahannya. Ia tahu bila bawahannya tidak akan melapor karena ia berpikir tidak akan dipercaya, atau berisiko kehilangan pekerjaan.

Korban akan berpikir bila atasan (bos besar) akan mendukung si pelaku, terutama jika ia terkenal dan penting bagi perusahaan.

Setidaknya menurut Stanton, ada empat pola pikir yang berperan penting dalam aksi pelanggaran seksual ini:

Mencari kekuatan dan kontrol. Bagian penting dari citra diri pelaku adalah mampu mendominasi orang lain. Dia mulai melakukan ini ketika dia mengejar siapa pun yang dianggapnya menarik.

Rasa keunikan. Setiap orang unik secara fisik, psikologis dan pengalaman. Tetapi pelaku pelecehan seksual, penyerangan atau perkosaan menganggap dirinya adalah satu-satunya yang terunik.

Bagian dari persepsi ini adalah kepercayaan dirinya bahwa ia tidak bisa ditolak oleh korban, dan ia adalah jawaban dari setiap keinginan korban. Ketika ‘bertabrakan’ dengan norma benar/salah, ia akan membuat aturannya sendiri.

Penipuan. Pelaku adalah individu yang cerdas, berbakat, dan kadang karismatik. Bahkan orang lain yang mengenalnya tidak akan membayangkan bila ia mampu melakukan kejahatan seksual. Predator seperti ini adalah seorang penipu ulung.

Kemampuan untuk memisahkan dan mematikan ketakutan akan konsekuensi. Predator seksual paham akan norma benar dan salah. Ia sepehuhnya sadar akan konsekuensi bila tertangkap. Tetapi ia mempunyai kemampuan untuk mengabaikannya dan melakukan apa yang ia inginkan, sambil mempertahankan rasa tak bersalah.

Ia bisa menghilangkan pertimbangan hati nurani. Ketika terbuka kedoknya, penyesalan utamanya adalah kenapa bisa tertangkap, dengan sedikit / tanpa penyesalan bagi korbannya. Sebaliknya ia merasa sebagai korban, karena konsekuensi yang tidak menyenangkan yang harus ia hadapi. (jie)