Data menunjukkan bahwa lansia dan mereka dengan penyakit kronis (komorbid), salah satunya diabetes, lebih berisiko terkena dan dengan komplikasi yang lebih buruk akibat COVID-19. Itu sebabnya penderita diabetes perlu mengetahui bagaimana mengelola diabetes selama pandemi.
Diabetes merupakan komordibitas kedua tersering – setelah hipertensi – yang ditemukan, dan dengan angka kematian tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan penderita secara umum.
Sayangnya, menurut data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018 sebagian besar (dua per tiga) penderita diabetes di Indonesia tidak tahu kalau dirinya mengidap diabetes. Ini membuat mereka sangat berisiko tinggi mengalami komplikasi berat bila terinfeksi COVID-19.
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, Ketua Umum Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), menjelaskan pasien diabetes dengan COVID-19 sebagian besar menjadi lebih berat dan lebih banyak meninggal.
Dari data di rumah sakit di Amerika Serikat, “Kematian pasien COVID-19 dengan diabetes atau hiperglikemia (gula darah tinggi) yang tidak terkendali hingga 28,8%. Itu lebih tinggi 4,6 kali dibanding pasien tanpa diabetes atau hiperglikemia yang terkendali (6,2%),” urai Prof. Ketut, dalam seminar virtual yang diadakan oleh Sanofi Indonesia, Jumat (7/8/2020).
Walau faktor genetik (riwayat keluarga penderita diabetes) berperan penting, tetapi saat ini diabetes lebih banyak disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti pola makan tinggi gula, garam, lemak, dan kurang aktivitas fisik.
“Kalau berasal dari keluarga penderita diabetes, atau tidak memiliki riwayat keluarga diabetes tetapi obesitas, sebaiknya periksa,” katanya. “Bahkan anak-anak atau remaja yang obesitas berisiko menjadi diabetes tipe 2.”
Lantas bagaimana mengelola diabetes saat pagebluk?
Ada dua hal utama, yakni pencegahan umum dan khusus. Pencegahan umum dengan menerapkan protokol kesehatan; memakai masker, rajin cuci tangan dan terapkan jaga jarak fisik / sosial (ini termasuk mengurangi bepergian dan menghindari kerumunan).
Sementara pencegahan khusus meliputi kendalikan gula darah, asupan makanan yang cukup, lebih sering memantau gula darah, lakukan aktivitas fisik rutin dan tingkatkan kreativitas untuk menghalau stres selama masa karantina.
“Untuk penderita diabetes dengan komplikasi, misalnya gangguan jantung atau ginjal, stabilkan keadaan jantung dan ginjal,” imbuh Prof. Ketut.
Bila sudah dikonfirmasi positif COVID-19, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :
- COVID-19 ringan : teruskan obat yang digunakan, baik obat oral maupun suntikan (insulin). Pasien COVID-19 derajat ringan biasanya tanpa gejala atau dengan demam ringan, batuk, pilek, nyeri tenggorok, mual, muntah, diare, dan tidak ditemukan pneumonia pada pemeriksaan radiologis.
- COVID-19 sedang : pertahankan obat yang sudah digunakan. Jika ada gangguan makan dan gejala bertambah berat, pengobatan bisa diganti dengan insulin. Pasien COVID-19 derajat sedang ditunjukkan dengan demam, gejala pernapasan seperti batuk dan sesak napas yang mungkin memberat sesuai dengan kelainan radiologis.
- COVID-19 berat dan kritis : wajib masuk rumah sakit; obatnya insulin. Pasien COVID-19 derajat berat – kritis ditunjukkan dengan sesak napas, frekuensi napas >30 kali per menit (normalnya 12-20 kali / menit), saturasi oksigen dalam darah 93%, adanya tanda-tanda sindrom gangguan pernapasan akut yang membutuhkan terapi oksigen.
Manfaatkan teknologi terkini
Untuk mengurangi risiko terpapar virus SARS-CoV-2 (nama resmi virus COVID-19) di rumah sakit atau dalam perjalanan dari dan ke rumah sakit, dihimbau menggunakan teknologi telemedicine untuk berkonsultasi dengan dokter.
“Saat ini saya dan pasien bisa menggunakan WhatsApp (WA) untuk konsultasi,” Prof. Ketut mencontohkan. “Telemedicine adalah solusi yang baik.” (jie)
Baca juga : Bahaya 'Bom Waktu' di Balik PSBB COVID-19: Mengapa Penyakit Kronis mungkin Naik Setelah Krisis Kesehatan