Melalui pencitraan otak dan gejala neurologis, tim peneliti dari University of Cincinnati, AS dan empat institusi dari Italia melihat dampak virus corona ini pada sistem saraf pusat pasien COVID-19.
Penemuan yang diterbitkan di jurnal Radiology ini memperlihatkan bahwa perubahan status mental dan stroke adalah gejala neurologis yang paling umum dialami pasien COVID-19, yang menurut peneliti bisa membantu dokter untuk mendeteksi ‘tanda bahaya’ lebih dini.
“Riset-riset sebelumnya sudah menunjukkan spektrum pencitraan dada pasien COVID-19, tetapi hanya ada sedikit laporan yang menjelaskan tentang hubungan antara COVID-19 dengan temuan neuroimaging,” kata penulis utama penelitian Dr. Abdelkader Mahammedi.
Hingga saat ini, riset ini adalah studi pertama sekaligus terbesar yang fokus pada gejala neurologis (berhubungan dengan saraf) dan neuroimaging pada pasien COVID-19. “Pola baru yang ditemukan ini dapat membantu dokter untuk lebih baik dan lebih cepat mengenali hubungannya dengan COVID-19, serta melakukan intervensi sebelumnya,” tambah Mahammedi, yang juga asisten profesor radiologi dan ahli saraf neuroradiolgi di University of Cincinnati.
Para peneliti menyelidiki gejala neurologis dan gambar CT scan/MRI pasien-pasien di tiga institusi utama di Italia : University of Brescia, University of Eastern Piedmont, dan University of Sassari. Italia diketahui menjadi episentrum kedua penyebaran COVID-19 dan tercatat setidaknya lebih dari 30.000 orang meninggal.
Gambar-gambar neurologi tersebut termasuk dari 725 pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit antara 29 Februari – 4 April 2020. Dari jumah tersebut, 108 orang (15%) memiliki gejala neurologis serius dan menjalani pemeriksaan pencitraan otak atau tulang belakang. Sebagian besar pasien (99%) dilakukan CT scan otak, 16% lainnya memiliki CT scan kepala dan leher, sementara ada 18% dengan MRI otak.
Peneliti menemukan bahwa 59% pasien mengalami perubahan status mental dan 31% menderita stroke, yang adalah gejala neurologis paling umum. Pasien juga tercatat mengeluhkan sakit kepala (12%), kejang (9%) dan pening (4%).
“Dari 108 pasien, 31 atau 29% tidak memiliki riwayat medis yang diketahui di masa lalu. Dari mereka yang berusia 16 – 62 tahun, 10 orang mengalami stroke dan dua orang dengan perdarahan otak,” terang Mahammedi. “71 atau 66% dari pasien ini tidak memiliki temuan pada CT scan otak, dan 7 di antaranya (35%) dengan MRI otak terlihat ada kelainan.”
Ia menambahkan, perubahan status mental lebih banyak terjadi pada pasien lanjut usia.
Walau hasil riset menunjukkan bila fitur-fitur neuroimaging pasien COVID-19 bervariasi, dan perubahan status mental atau stroke adalah yang paling sering dialami pasien, Mahammedi mengatakan penelitian ini mengungkap adanya kondisi lain yang harus diwaspadai.
“Riset dengan topik ini jelas memerlukan lebih banyak penelitian,” katanya. “Saat ini, kita masih memiliki pemahaman yang terbatas tentang gejala neurologis pada pasien COVID-19, apakah ini timbul dari penyakit kritis atau dari infeksi langsung virus SARS-CoV-2 di sistem saraf pusat. Kami berharap penelitian lebih lanjut akan membantu mengungkap petunjuk dan memberikan intervensi (perawatan) yang lebih baik untuk pasien.” (jie)