Pagi hari kehidupan Indy Barends sudah penuh drama. “Yang kecil (Manuel) telepon, dia nggak mau sarapan sereal. Padahal semalam minta sereal buat sarapan,” ujar presenter dan penyiar kocak ini. Setengah jam kemudian, HP-nya kembali berbunyi, “Aku nggak mau sekolah. Sakit perut.”
Drama seperti itu membuat mood naik turun. Sedangkan, ia harus siaran live Senin – Jumat di radio. “Dipikir-pikir, kalau nggak ada anak-anak yang bikin drama, dunia gue sepi. Keribetan di pagi hari itu kayak bumbu.” Buatnya, drama sehari-hari dengan anak, malah memacingnya untuk lebih kreatif. Saat anak-anak keluar kota, misalnya sedang field trip, hidupnya terasa datar. Seperti ada yang kurang, saat tidak perlu mengecek keperluan anak-anak.
Yang penting, bagaimana caranya di pagi hari ia keluar rumah dengan senyum; bukan senyum getir. “Harus punya ‘kuncian’ agar hidup kita happy dan bisa memberikan yang terbaik untuk keluarga.”
Bohong kalau orang selalu happy, karena kita pasti “bersahabat” dengan stres. Stres di rumah, macet di jalan, stres pekerjaan. Sebagai ibu, begitu melek mata, sudah terbayang agenda hari itu; apa saja yang harus dilakukan, “Sambil mandi aja mikir, hari ini mau ngapain aja.”
Maka, perlu menemukan hal yang membuat diri kita nyaman. Indy mendapatkannya dengan mendengarkan musik yang pas. “Kalau musik sudah OK, saya hubungkan dengan apa yang saya dengar. Dari telinga ke otak, lalu ke hati. Jadi happy lagi, bisa maksimal bekerja.”
Beruntung, pekerjaan cuap-cuap di radio merupakan me time bagi ibu dua anak ini. Sejak punya anak, Indy sempat vakum siaran. Tahun 2015, ada tawaran dari Female Radio untuk membawakan acara Happy Morning. Indy menanyakan pendapat si sulung, Rapha, bila ia siaran lagi. Sebagai jawaban, selama beberapa hari ia mendengarkan siaran radio tersebut.
Setelah Raphael bilang “oke”, baru ia minta ijin suaminya, Benyamin Sarmanella. “Dia malah bilang, saya harus siaran.” Bukan dari sisi finansial, melainkan untuk menemukan “surga” masing-masing. Menurut suaminya, kalau tidak siaran, Indy “siaran” di rumah alias ngomel; ada saja pekerjaan asisten rumah tangga yang dikomplain. Kata suami, “Siaran itu surga buat kamu dan buat saya. Kamu cari surgamu yang enak, saya nemuin surga saya, ha ha ha.”
Maka, pagi saat Indy berangkat siaran, suami mengantar anak-anak sekolah, baru kemudian berangkat kerja. Kata suami, “Kalau sudah siaran, tidak usah pusing memikirkan anak-anak.“
Indy belajar untuk mensyukuri segala sesuatu. “Perempuan itu punya anugrah luar biasa. Bisa jadi ibu, bekerja, bos di rumah, dan bos bagi diri sendiri.”
Tipe pencemas
Kelahiran Jakarta, 15 Januari 1972 ini sebenarnya tipe ibu pencemas. Ia menanyakan, besok pagi anak-anak mau sarapan apa. Malam hari saat anak-anak sudah tidur, Indy menyiapkan seragam mereka. Lalu ke dapur dan menyusun menu esok hari di buku menu untuk si Mbak. Dia tulis dengan rinci sarapan dan bekal makan siang Raphael dan Manuel, hingga menu makan malam. “Kalau lagi ada waktu, langsung bikin menu buat seminggu.”
Ini dilakukan agar asupan nutrisi anak-anaknya seimbang. Perlu ada sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. Ia bersyukur, kedua putranya suka sekali sayur dan buah. Segala macam buah mereka suka: pir, semangka, pepaya. Biasanya dikonsumsi sore hari. Sarapan berupa omelet, roti atau sereal plus susu.
Untuk menjaga berat badan, Indy tidak diet, “Gak ada pantangan.” Namun, sebagai Brand Ambassador beberapa produk, tubuhnya harus terjaga. “Gak apa-apa ada wiron (kerutan) di muka, asal kalau difoto masih masuk frame,” ia tertawa. Yang pasti, ia sempatkan olahraga: yoga, pilates. Di akhir pekan, olahraga bersama anak-anak. Bila waktunya agak panjang, main di laut, “Saya dan Rapha suka diving.”
Sebelum berangkat siaran, Indy mengecek sarapan anak-anak, apakah sudah sesuai permintaan, “Kalau waktunya gak mepet, aku yang bikinin sarapan.” Si kakak, kalau malamnya bilang omelet, paginya ia makan omelet. “Mau rasanya kayak apa, pasti ditelan. Dia bisa menghargai yang sudah dibuat.” Kalau si Adik, Manuel, kadang suka berubah pikiran tiba-tiba.
Pukul 05.45, Indy berangkat dan berpesan agar anak-anak menelepon sebelum ke sekolah. “Kalau saya yang telepon, mereka berpikir: wah mama yang cari saya. Kalau saya minta mereka menelepon, mereka sadar harus berkomunikasi dengan saya, meski gak ketemu di pagi hari.” Kalau pukul 06.30 belum ada telepon, “Pecah nih kepala. Serba salah ya. Anak-anak anteng kepikiran, kalau rewel saya pusing.”
Kalau mau coba, sama orangtua
Indy sadar, karakter tiap anak berbeda. Apalagi usia kedua anaknya terpaut lumayan jauh. Si bungsu 8 tahun, si sulung 13 tahun yang mulai memasuki masa pubertas. “Dulu, kita dididik keras oleh orangtua. Bukannya jelek, tapi itu membuat kita tidak bisa terbuka dengan orangtua. Sekarang, kalau dilarang, hati anak bertekad untuk melakukan yang dilarang itu saat orangtua tidak ada.”
Kepada si sulung, ia berkata: kalau mau mencoba melakukan sesuatu pertama kali, dengan orangtua. Misalnya kalau mau coba mencoba merokok, “Gue akan ajarin cara merokok yang benar. Kalau mencobanya sama teman, temennya itu nggak bisa ngajarin karena masih sama-sama o’on. Aku nggak tahu pandangan orang gimana, tapi prinsip kami seperti itu.”
Demikian pula seandainya anak mau mencoba minum bir. “Gue yakin suatu saat mereka akan coba. Lebih baik percobaan pertamanya sama orangtua. Kami kasih tahu, kalau alkohol itu gak bagus. Jadi, lebih baik tidak usah. Kalau mau menjalankan silakan, tapi ada risikonya.”
Suatu saat, Rapha bilang mau mencoba bir yang diminum oleh pamannya. “Gue jantungan juga sih. Tapi karena pernah ngomong begitu ke dia, saya sok tenang,” ia terkekeh. Ia tuangkan sedikit bir, sambil komat-kamit dalam hati, “Kalau dia suka, mati gue.”
Begitu mencium aroma bir, Rapha bilang baunya gak enak. Dia tanya apa gunanya bir. Indy menjelaskan, “Untuk orang yang tinggal di daerah dingin, alkohol itu untuk menghangatkan badan. Bukan untuk mabuk. Kalau mereka mabuk, berarti menyalahgunakan.” Untung, dia tidak suka, “Gue kasih yang gak enak, ha ha ha.”
Begitu anak sudah mulai keluar rumah, “Orangtua cuma bisa jaga dengan doa.” Indy berupaya agar anak tahu bahwa rumah adalah sarana mereka untuk merasa nyaman. Misalnya lagi kesal, anak ingin pulang ke rumah karena merasa rumah adalah tempat yang enak. “Bukan karena mewah, tapi nyaman.” (nid)