Penyandang disabilitas cenderung memiliki keterampilan literasi yang lebih rendah. Sehingga, mereka cenderung lebih sulit untuk mengikuti komunikasi. Ini membuat penyandang disabilitas sulit menyatakan rasa sakit.
Penelitian di Korea Selatan menyebutkan kesulitan komunikasi membuat penyandang disabilitas cenderung untuk menahan sakit.
“Sulit bagi mereka untuk secara akurat menjelaskan bagian mana dan bagimana mereka sakit. Oleh karena itu, mereka cenderung tidak menerima perawatan yang tepat di rumah sakit atau apotek,” demikian tulis laporan tersebut.
Hal yang serupa terjadi di Indonesia. Menurut data Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas (DPO), sekitar 42% penyandang disabilitas kesulitan menggunakan layanan medis selama pandemi COVID-19 di Indonesia.
Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, SpA(K), Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, menjelaskan terdapat kendala berbicara dan komunikasi non-verbal. Membuat penyandang disabilitas sulit menyatakan rasa sakit dengan benar.
“Karena sulit menyampaikan apa yang dirasakannya, mereka menjadi tantrum untuk melampiaskan kekesalannya akibat orang lain tidak mengerti,” terang Prof. Rini dalam penutupan kampanye ‘Say Pain’ yang digagas oleh Daewoong Pharmaceutical, Selasa (6/12/2022).
Penyandang disabilitas juga kesulitan menentukan dengan pasti derajat sakit / kondisi emergency. Kesulitan menentukan/menunjukkan lokasi sakit, dan sulit dalam pemberian obat (kadang harus dipaksa).
“Say Pain” dengan buku
Tampaknya ungkapan “Sebuah gambar bernilai seribu kata” benar adanya. Untuk membantu penyandang disabilitas menyatakan rasa sakit, Daewoong Pharmaceutical membuat kampanye “Say Pain”
Salah satu bentuk kampanye ini dengan memroduksi buku bergambar AAC (Augmented and Alternatives Communication) berjudul “Katakan Rasa Sakitmu”.
Prof. Rini, sebagai salah satu dokter yang mereviu buku AAC ini menjelaskan, perasaan penyandang disabilitas dalam kondisi sakit bisa teridentifikasi lewat di buku AAC. Termasuk tentang berapa lama sakit, lokasi nyeri, hingga derajat sakit yang dituangkan dalam bentuk gambar.
Buku “Katakan Rasa Sakitmu” mulai didonasikan untuk sekolah luar biasa dan lembaga kesejahteraan di Jakarta pada Desember 2022. Distribusi buku AAC ini rencananya akan diperluas di Indonesia dan juga secara online mulai tahun depan.
“Buku ini bisa digunakan oleh guru di sekolah, atau lingkungan sebayanya,” kata Prof. Rini.
Peran keluarga dan lingkungan
Salah satu penyandang disabilitas adalah anak ADHD (attention deficit hyperactivity disorder). Mereka sering tidak diterima lingkungan karena dianggap ‘pengacau’; tidak bisa diam, mengganggu anak lain dan suka memukul.
Kondisi tersebut membuat anak ADHD sulit bersosialisasi. Semakin tantrum saat sakit karena tidak dipahami oleh orang lain.
Lantas apa yang harus dilakukan oleh keluarga atau lingkungan? “Keluarga harus declare, menyampaikan anak ini ada masalah, sehingga lingkungannya tahu, tidak boleh ditutup-tutupi. Lingkungan harus beradaptasi dan men-support mereka agar bisa berkembang dengan maksimal,” Prof. Rini menegaskan.
Ia melanjutkan, ada hal yang perlu keluarga atau lingkungan lakukan jika ingin membantu anak/penyandang disabilitas:
- Bertanya sebelum membantu. Bicaralah dengan tenang, jelas dan volume sedang. Berbicara keras tidak akan membuat Anda lebih dimengerti.
- Jangan berasumsi, terutama bila mereka sulit berkomunikasi secara verbal. Tanyakan dengan bahasa gambar.
- Berikan rasa hormat.
Selain itu, saat berbicara dengan penyandang disabilitas hindari menggunakan kalimat panjang dan rumit, gunakan ungkapan yang mudah dipahami. Tatap wajah mereka saat berkomunikasi, dan bersikaplah dengan santai. (jie)
Baca: Penyandang Down Syndrome pun bisa Mandiri dan Berkarya