“Lho kok pilih operasi caesar, kenapa tidak lahiran normal?”
“Kenapa bayinya gak disusui lagi, kok malah ditinggal kerja?”
“Kok anaknya diberikan susu formula, ASI-nya tidak keluar ya?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut – dan masih banyak pertanyaan lain - kerap dihadapi oleh ibu baru. Ternyata pertanyaan-pertanyaan yang punya konotasi negatif tersebut bisa membuat mental sang ibu drop, bahkan depresi. Ini bisa dikategorikan sebagai mom-shaming.
Banyak ibu-ibu yang tidak sadar melakukan mom shaming terhadap ibu baru, karena merasa hal tersebut lumrah ditanyakan / dinyatakan. Beberapa tahun belakangan ini aksi mom shaming saat ini makin marak, termasuk komentar-komentar di media sosial.
Mom shaming bisa diartikan sebagai tindakan merendahkan, menghakimi atau mencela seorang ibu terkait pola pengasuhan atau keputusan yang diambilnya. Bentuk mom shaming mulai dari mengkritik pilihan metode persalinan, pilihan berkarier, hingga mengomentari tubuh seorang ibu. Tindakan ini bahkan bisa dilakukan oleh anggota keluarga.
Psikolog Grace Eugenia Sameve, MA, MPsi menjelaskan, mom shaming kerap terjadi karena adanya perbedaan pandangan terhadap cara asuh yang dianggap benar.
“Meskipun kerap terjadi secara online - di forum diskusi parenting contohnya - sebenarnya mom shaming lebih rentan terjadi di lingkungan keluarga dan kerabat sendiri, interaksi umumnya lebih intens dan tak terhindari,” ujarnya di kampanye #SetiapLukaPunyaCerita dan peluncuran Hansaplast Plester Bekas Luka, Jumat (4/1/2022).
Mom shaming tidak selalu hadir dalam bentuk komentar yang tidak menyenangkan, namun seringkali juga dari pertanyaan yang tidak sengaja telah menghakimi pilihan seorang ibu, seperti mengapa tidak bisa bersalin secara alami? Padahal, ibu baru justru sedang sangat membutuhkan dukungan dari support system mereka dalam menjalani fase baru kehidupannya.
Perlu dipahami bila ibu baru mungkin mengalami kebingungan tentang tentang pola asuh terbaik yang seharusnya dilakukan. Sehingga komentar atau pertanyaan yang tidak disengaja bisa membuatnya semakin cemas dan tidak percaya diri.
Mom shaming secara tidak langsung bisa berdampak pada bayi. Ibu yang stres memroduksi lebih sedikit ASI (air susu ibu). Penelitian juga menyatakan bayi menjadi lebih rewel bila ibu mereka stres.
“Sementara bagi kerabat atau orang lain, agar tidak melakukan mom shaming sebaiknya tahan diri untuk tidak memberikan komentar atau pertanyaan bila tidak bisa memberikan solusinya,” saran Grace.
Bagaimana menghadapi mom shaming?
Mom shaming bisa berdampak besar bagi ibu baru. Berisiko membuatnya depresi, yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas ibu merawat bayinya.
Grace menjelaskan ada hal-hal dasar yang ibu baru bisa lakukan untuk menghadapi mom shaming:
- Belajar mengelola emosi dan menerima kondisi diri sendiri. Ini penting agar hubungan dengan anggota keluarga/kerabat bisa terjaga baik.
- Lengkapi diri sendiri dengan informasi. “Alih-alih menyalahkan diri sendiri, sebaiknya cek ke tenaga ahli yang terpecaya. Misalnya pertanyaan terkait anak, cek ke dokter anak atau ke obgyn (dokter kandungan),” katanya Grace.
- Me time sangat penting. Walau tidak harus lama, meluangkan waktu untuk diri sendiri, beristirahat, akan mengisi ulang energi Anda.
- Minta bantuan suami. Dukungan suami sangat penting, terutama di minggu-minggu awal pascapersalinan. Lelah fisik dan mental membuat seorang ibu baru lebih sensitif. Suami bisa bergantian mengasuh anak. Atau suami berperan sebagai perantara, misalnya bila mom shaming dilakukan oleh mertua, untuk mengatakan bila Anda merasa tidak nyaman.
- Ungkapkan perasaan ketidaknyamanan. Anda bisa mengungkapkan perasaan tidak nyamannya secara langsung (dengan cara yang baik tentunya), atau bercerita kepada orang lain.
- Batasi media sosial. Medsos bagai pedang bermata dua, kaya dengan informasi dan hiburan, sekaligus berpotensi melukai perasaan Anda. “Batasi scrolling di Instagram, karena bisa mengganggu melihat Instagram atau komentar orang lain,” Grace menekankan. (jie)