Saat itu ketika masih menjabat sebagai Guru Besar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, sibuk, capek dan pegal menjadi hal biasa bagi Prof. DR. Stephanus Djawanai, M.A (73 tahun). Saat saluran kencingnya terasa, ia juga menganggapnya sebagai hal yang wajar. Namun, makin lama kondisinya makin parah. ”Malam hari, buang air makin sulit dan tersendat, hingga suatu saat ada darah dalam urin,” ujar Prof. Stephanus. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, ia diantar keluarga memeriksakan diri ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Melalui pemeriksaan USG diketahui bahwa profesor yang kini menjabat sebagai Rektor di Universitas Flores, Flores ini mengalami pembengkakan prostat. Disarankan operasi TURP. Sebelum operasi, ia diberikan opsi memilih terapi lain seperti kemoterapi, radioterapi atau suntik hormon. Sebetulnya ia tidak mau semuanya. Namun, suatu saat rasa sakit muncul, dan akhirnya ia disuntik hormon. Rambutnya rontok. Setelah itu, dia tidak mau lagi berobat.
Pemeriksaan lebih lanjut terhadap indikator kanker (PSA) menujukkan nilai lebih dari normal yaitu 8,4 (normal 4). Prof. Stephanus dinyatakan menderita adeno carsinoma (kanker prostat) stadium IIB dengan deferensiasi buruk. Mei 2003, ia menjalani operasi TURP ulang dan orchidectomi.
Pada terapi sebelumnya, Prof. Stephanus mengeluh jika minum obat lambungnya terganggu dan alergi. Dia merasa tidak nyaman dan berupaya mencari cara lain. Gayung bersambut. Kepala perawat rumah sakit memberitahu ada produk herbal yang mungkin dapat membantu mengatasi masalahnya. Prof. Stephanus pernah mendengar produk itu pernah diteliti koleganya dari fakultas farmasi. “Setelah minum obat dokter, dua jam kemudian saya minum herbal dan banyak minum air putih,” ujarnya.
Setelah obat dokter habis, ia tetap minum obat herbal. Perubahan terjadi. Dua bulan pasca-opname dan minum obat herbal, kondisinya membaik. Tujuh bulan kemudian, indikatornya PSA menurun drastis dari 8,4 menjadi 0,2. Prof. Stephanus banyak makan sayur, mengurangi makanan tinggi lemak dan gula pasir, dan menggantinya dengan gula merah/gula aren.
Keseimbangan pikiran dan jiwa, juga penting. “Stres berpotensi memicu kanker,” ujar ayah 2 anak ini. Setiap pagi, ia jalan kaki beberapa menit. Dulu, ketika mengajar di Jepang, ia biasa jalan kaki dari rumah ke kampus setidaknya 30 menit/hari.
Kini, kodisinya semakin membaik. Konsumsi herbal tetap dilanjutkan, tapi dosisnya dikurangi. ”Sejak minum herbal, rambut saya tumbuh kembali,” katanya sedikit heran. Dari pengalamannya, Prof. Stephanus yakin ke depan herbal akan menjadi terapi pilihan di samping terapi konvensional yang sudah ada. ”Kita perlu terus menggali kearifan tradisonal, perlu banyak belajar ke negara lain seperti China yang mampu mengembangkan metode pengobatan konvensional dan modern secara bersama-sama”, ungkapnya. (her)