Penyakit yang dapat dicegah seperti pneumonia dan diare masih menjadi penyebab utama kematian anak Indonesia. Banyak keluarga, terutama di daerah pedesaan, kesulitan untuk menerapkan perilaku kesehatan preventif yang dapat menyelamatkan nyawa. Peran ayah ternyata sangat penting untuk mendorong pencegahan penyakit.
Dalam rangka mendorong upaya melindungi anak-anak dari penyakit yang bisa dicegah di masa depan, Global Alliance for Vaccine and Immunization (GAVI), Unilever, dan The Power of Nutrition menggagas program Keluarga SIGAP (Siaga Dukung Kesehatan, Siap Hadapi Masa Depan).
Tujuan program ini untuk mengubah perilaku orangtua yang memiliki anak baduta (di bawah 2 tahun). “Fokusnya terkait pada imunisasi lengkap sesuai jadwal, cuci tangan pakai sabun (CTPS) dan nutrisi dengan keanekaragaman makanan dan camilan sehat,” ujar Ardi Prastowo, Ketua Tim Program Keluarga SIGAP.
Gerakan ini dilakukan di dua kabupaten; Banjar (Kalimantan Selatan) dan Bogor (Jawa Barat) sejak Oktober 2023 hingga Juni 2024.
Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Center for Tropical Medicine, Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan perubahan perilaku yang positif di kalangan responden. Prof. dr. Mei Neni Sitaresmi, SpA(K), PhD, Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UGM, memaparkan, 87% responden menyebutkan bahwa program SIGAP telah mempengaruhi keputusan mereka dalam mengimunisasi anak.
“Selain itu, 99% responden menyebutkan efektif dalam mempromosikan perilaku CTPS dan 96%menyediakan informasi mengenai ASI eksklusif dan MP-ASI,” terang Prof. Mei.
Evaluasi akhir menunjukkan cakupan vaksin PCV1 (untuk mencegah pneumonia), meningkat dari 28% pada data awal, menjadi 64% pada kelompok intervensi. Demikian pula, praktik CTPS sebelum memberi makan anak mengalami peningkatan 1,5 kali lipat (dari 50% menjadi 81%).
“Masih ada PR (pekerjaan rumah), walau 64% responden percaya imunisasi memiliki lebih banyak manfaat dibandingkan efek samping, kita harapannya lebih dari ini,” Prof. Mei menjelaskan. “Ini mungkin dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, karena dalam survei 80% mengaku kalau anak mereka pernah mengalami KIPI (Kejadian Ikutan Pasca-imunisasi).”
Ketakutan mengenai KIPI menjadi penting, karena masih ada rumor negatif terkait imunisasi, misalnya vaksinasi membuat anak sakit/demam, yang ini adalah reaksi alami tubuh.
Fakta penting lain yang terungkap dalam evaluasi tersebut adalah izin suami turut menentukan anak boleh divaksinasi atau tidak.
“Peran bapak perlu diperkuat, mungkin melalui acara-acara agama, pertemuan, ronda, dsb,” tekan Prof. Mei. Selain tentunya, memperkuat kesetaraan gender dengan menanamkan pengertian bahwa ibu juga bertanggungjawab dalam mengambil keputusan terkait vaksinasi.
Dr. Intan Widayati, MA, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kab. Bogor menyoroti pentingnya pemberdayaan seluruh anggota keluarga, terutama para ayah, untuk berperan aktif dalam meningkatkan derajat kesehatan keluarga, sekaligus mencegah stunting.
“Peran ayah dalam tumbuh kembang anak sangat berpengaruh. Kita melihat kalau ayah itu selalu sibuk mencari uang, dan bahwa anak menjadi tanggungjawab ibu. Tetapi ternyata dengan program Keluarga SIGAP ini, kemudian memberi wawasan dan mengajarkan keluarga bagaimana mendidik anak, si ayah yang sudah diintervensi ini menjadi lebih paham,” katanya.
Belajar dari kasus di Aceh, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2022 lalu mencatat Aceh menjadi daerah dengan cakupan imunisasi lengkap terendah di Indonesia, hanya 45,7%. Banyak anak tidak mendapatkan imunisasi rutin karena ayah mereka tidak mengizinkan, khawatir akan potensi efek samping, dan terpengaruh rumor bahwa imunisasi dilarang (haram). (jie)