Terapi hormon testosteron ternyata dihubungkan dengan penurunan nilai HbA1c (gula darah rata-rata dalam 3 bulan) pada penderita diabetes mellitus tipe 2 (DM2).
Resistensi insulin merupakan ciri penting dalam perkembangan diabetes tipe 2. Semakin banyak diketahui bahwa rendahnya kadar hormon testosteron (hipogonadisme) pada pria berhubungan dengan berkurangnya sensitivitas insulin dan DM2.
Ada hubungan terbalik antara kadar testosteron dan konsentrasi insulin di pria sehat. Kadar testosteron yang rendah juga diketahui dapat memprediksi resistensi insulin dan perkembangan diabetes di masa depan.
“Jika Anda memiliki pasien diabetes tipe 2, gangguan seksual, kelelahan, tolong pertimbangkan (pemeriksaan) kadar hormon testosteron mereka. Dan jika mereka memenuhi kriteria kekurangan testosteron, setelah pemeriksaan, pertimbangkan pemberian terapi hormon testosteron,” ujar T. Hugh Jones, MD, profesor adrologi di University of Sheffield, Inggris.
Prof. Jones memaparkan hasil studi terbarunya pada pertemuan tahunan European Association for the Study of Diabetes, Oktober 2023 lalu.
Risetnya melibatkan 428 penderita DM2 dengan hipogonadisme dari 34 tempat di 8 negara (AS, Jerman, Kanada, Brazil, Afrika Selatan, Selandia Baru, Malaysia dan Vietnam).
Di antara 121 pria dalam 12 bulan, mengalami penurunan nilai HbA1c dari 71,27 mmol/mol (8,7%) di awal studi, menjadi 61,26 mmol/mol (7,8%). Selain itu, pada 104 pria dalam 2 tahun, kadar HbA1c turun dari 8,7% menjadi 7,3%. Kedua penurunan tersebut adalah signifikan.
Data pada penelitian terdahulu menunjukkan sekitar 40% pria dengan diabetes tipe 2 memiliki gejala hipogonadisme. Defisiensi testosteron juga dikaitkan dengan peningkatan risiko kardiovaskular, kesehatan tulang, kekuatan otot, fungsi seksual dan kesehatan psikologis. “Namun hal ini sering diabaikan,” kata Prof. Jones, melansir Medscape.
“Ini biasanya tidak diperiksa dalam praktik rutin…. (padahal) defisiensi sangat umum terjadi, namun banyak dokter tidak mengobatinya atau menanyakannya. Pengobatan memiliki manfaat sangat signifikan bagi pasien,” imbuhnya.
Mengomentari hasil studi tersebut, Bradley D. Anawalt, MD, endokrinologis dari University of Washington Medical Center (AS) mengatakan, “Survei ini mengonfirmasi banyak penelitian dalam 20 tahun terakhir. Hubungan ini dipicu oleh ‘penyebab terbalik’ yaitu DM2 dan obesitas menurunkan konsentrasi testosteron. Dan, pengurangan berat badan 5-10% dapat meningkatkan konsentrasi testosteron pada pria dengan indeks massa tubuh (IMT) yang tinggi, lingkar pinggang besar dan hipogonadisme.”
Pada saat yang sama, Dr. Anawalt menekankan bahwa terapi defisiensi hormon testosteron dapat meningkatkan manfaat dari perubahan gaya hidup pada pria dengan IMT tinggi dan risiko DM2 untuk mencegah, atau menunda perkembangan penyakit ini. Hal ini tercatat dalam studi di The Lancet (2021).
Namun, baik Jones dan Anawalt menekankan bahwa terapi hormon testosteron diperkirakan tidak akan mempengaruhi kadar gula atau parameter kardiometabolik lainnya pada pria yang tidak kekurangan testosteron, apapun status diabetesnya.
Jones mengatakan, memberikan terapi hormon testosteron pada pria yang mengalami defisiensi bisa sangat bermanfaat karena berbagai alasan. “Orang-orang merasa lebih baik. Pasien yang datang kembali dan berkata: terima kasih dok, Anda telah mengembalikan hidup saya. Jarang sekali Anda mendapatkannya. Dan kepatuhannya sangat baik,” pungkas Prof. Jones. (jie)