Dampak polusi udara masih dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Saat ini bahkan terjadi kebakaran hutan di beberapa kota lain yang memperburuk kualitas udara kita. Polusi udara diketahui memicu batuk, bahkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Sebagian masyarakat Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangeran, Bekasi) dalam beberapa bulan terakhir merasakan bagaimana dampak polusi udara pada kesehatan. Batuk yang tidak kunjung sembuh, beberapa orang mengatakan sudah ke dokter, minum obat, vitamin, termasuk antibiotik.
Sebagian besar polusi udara berbentuk seperti debu dengan ukuran sekecil diameter rambut atau bahkan lebih kecil (partikel sangat halus). Data penelitian di Asia Pasifik menunjukkan bahwa pajanan polusi udara jangka pendek berhubungan dengan peningkatan gejala pernapasan seperti batuk, sesak napas dan peningkatan kunjungan rumah sakit karena infeksi saluran pernapasan, serangan asma dan PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis).
Batuk sebenarnya adalah mekanisme tubuh untuk mengeluarkan/membersihkan partikel atau benda asing di saluran pernapasan. Tubuh juga mengeluarkan dahak untuk memerangkap partikel asing tersebut, agar lebih mudah dikeluarkan.
Jurnal The Lancet Infectious Disease menjelaskan batuk merupakan gejala umum yang berkaitan dengan infeksi saluran napas atas. Awalnya, infeksi saluran napas atas ini memunculkan respons batuk kering. Periode berikutnya, bisa diikuti dengan batuk berdahak akibat respons peradangan - hingga di saluran napas bawah - yang memicu produksi dahak/lendir.
Dr. dr. Feni Fitriani Taufik, SpP(K), dari RS Pondok Indah Jakarta mengatakan paparan polusi udara – yang antara lain mengandung PM (particulate matter) 2.5 – mengakibatkan penurunan imunitas saluran napas, menyebabkan tubuh lebih rentan terhadap patogen (kuman, virus, bakteri, dll) pernapasan.
“Peningkatan kontak dengan populasi batuk menyebabkan peningkatan paparan partikel infeksi,” terang dr. Feni, kepada OTC Digest. Selanjutnya seperti efek bola salju, gangguan respon imun dan gejala yang berkepanjangan menyebabkan peningkatan penularan.
“Peradangan yang disebabkan oleh polusi dan stres oksidatif menyebabkan gangguan pemulihan dan penyakit yang lebih parah,” tambahnya.
Penelitian Odo et al tahun 2022, menjelaskan setiap peningkatan 10 mg/m3 kadar PM2.5 dihubungkan dengan kenaikan risiko mengalami ISPA. Studi lain oleh Horne et al (2018), membuktikan risiko infeksi akut saluran napas bawah meningkat dalam waktu 1 minggu, setelah peningkatan paparan PM2.5.
Dahak butuh diencerkan
Dahak (mucus) berperan untuk menjebak dan membersihkan partikel asing, termasuk menghambat pertumbuhan bakteri di saluran napas. Juga melindungi saluran napas dari iritan yang terhirup, serta melindungi saluran napas dari kehilangan cairan.
Dahak butuh diencerkan agar mudah dikeluarkan. Penelitian Bruce K Rubin, dkk, menjelaskan obat untuk mengencerkan dahak adalah ekspektoran, mukolitik dan agen mukokinetik.
Ekspektoran bermanfaat untuk meningkatkan sekresi air di saluran napas guna meningkatkan efektivitas batuk. Golongan mukolitik akan mengencerkan dahak dengan cara melepas ikatan gugus sulfidril dahak sehingga menurunkan kekentalan dahak, khususnya di saluran napas bawah.
“Agen mukokinetik dapat meningkatkan efektivitas batuk, baik dengan meningkatkan aliran udara saat batuk atau dengan melepaskan dahak yang sangat lengket dari dinding saluran napas,” tulis peneliti dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Respiratory Care tersebut.
Beberapa obat batuk berdahak diformulasikan mengandung bromhexine (golongan mukolitik), yang bekerja memecah mukoprotein dan serat mukopolisakarida dahak, sehingga menjadi lebih encer dan mudah dikeluarkan.
Obat lain mengombinasikan bromhexine dengan guaifenesin (ekspektoran). Dengan kombinasi keduanya, maka bromhexine akan mengencerkan dahak yang kental dan guaifenesin sebagai ekspektoran akan membantu mempermudah pengeluaran dahak sehingga akan membantu untuk meredakan batuk berdahak. (jie)