“Di Indonesia, diduga ada 2,9 juta penderita penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) saat ini,” ungkap dr. Dharmeizar, Sp.PD-KGH, Ketua PERNEFRI (Perhimpunan Nerfrologi Indonesia) dalam diskusi yang diselenggarakan CHEPS-UI (Center for Health and Policy Studies School of Public Health Universitas Indonesia) di Jakarta, Sabtu (08/04/2017). Pasien PGTA membutuhkan terapi pengganti ginjal. Pilihannya mencakup hemodialisis (HD), cuci darah melalui perut (CAPD/Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis), dan transplantasi (cangkok) ginjal.
HD masih menjadi pilihan utama di Indonesia dan mayoritas negara lain di dunia. Hingga kini, 97% pasien di Indonesia menjalani HD; hanya 3% yang memilih CPAD. “Sudah saatnya pasien beralih ke CAPD,” lanjut dr. Atma Gunawan, Sp.PD-KGH dari Malang CAPD Center. Pelayanan CAPD sudah tersedia di hampir seluruh daerah di Indonesia, dan sudah terintegrasi dengan HD. Artinya, pusat kesehatan yang melayani HD umumnya juga bisa melayani CAPD.
Malang CAPD Center termasuk yang banyak menangani pasien CAPD, yakni 290 pasien atau 34% dari seluruh pasien dialysis. Berdasarkan analisis kematian, angka kesintasan pasien yang menjalani CAPD hampir dua kali lipat dibandingkan HD. “Ini karena kualitas hidup hidup pasien yang menjalani CAPD jauh lebih baik," jelas dr. Atma. Pasien tidak bergantung pada mesin HD di RS/klinik, sehingga bisa lebih bebas bepergian.
CAPD akan lebih efektif jika dimulai sejak awal. Artinya pasien tidak perlu menjalani HD selama bertahun-tahun, baru beralih ke CAPD. HD bisa dilakukan dulu beberapa kali ketika PGTA baru ditemukan, hingga kondisi pasien stabil. Setelah kateter Tenckhoff berhasil dipasang di rongga perut, pasien bisa segera menjalani CAPD.
Hasil studi
CHEPS-UI melakukan studi perbandingan efektivitas biaya antara HD dan CAPD. Studi yang diketuai oleh Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr., PH ini dilakukan pada tiga RS di Jakarta dan Bandung, melibatkan 120 pasien PGTA.
Hasil penelitian menunjukkan, biaya HD mencapai 115,5 juta/orang/tahun, dan pada CAPD 130,7 juta/orang/tahun. Berdasarkan jumlah ini, biaya CAPD tampak lebih mahal. Namun kualitas hidup pasien jauh lebih baik. Pasien yang menjalani CAPD tidak perlu datang ke RS dan bolos kerja, serta bisa menghemat ongkos transportasi ke RS.
Terungkap dalam studi, penghasilan pasien yang hilang karena harus ke RS 2x seminggu untuk menjalani HD, mencapai Rp. 9 juta. Biaya transportasi untuk HD mencapai Rp. 5,2 juta, sedangkan dengan CAPD hanya Rp. 3 juta. Disimpulkan, CAPD bisa menghemat dana JKN hingga lebih dari Rp 48 juta/orang per lima tahun.
Pelaksanaan CAPD bukan tanpa kendala. Misalnya, sebagian besar peserta CAPD memerlukan cairan dialisis khusus yang lebih mahal sehingga banyak yang drop out. Di beberapa daerah seperti Maluku dan Papua, distribusi cairan kadang terhambat. Untuk menghindari infeksi rongga perut, kebersihan kateter dan tata cara penggantian cairan harus dilaksanakan dengan baik. (nid)
Baca juga: Menghindari Gagal Ginjal