Dr. dr. Wahyudi Istiono, M.Kes, Sp KKLP, dari FK UGM, Jogjakarta, punya pengalaman menarik. Seorang suami yang menemani isterinya berobat, memilih menunggu di mobil. Sang suami punya penyakit “aneh”, tekanan darahnya langsung naik bila melihat dokter dengan jas putihnya. “Tapi waktu ketemu saya di resepsi perkawinan, dan saya pakai baju batik, tensinya tetap normal,” ujar Dr. Wahyudi dalam webinar kesehatan ”Hipertensi dan Probiotik” baru-baru ini.
Yang dialami bapak tadi disebut white-coat hypertention (WCHT), atau hipertensi jas putih. Yakni jas putih yang biasa dikenakan dokter saat bertugas. Istilah white-coat hypertension pertama kali dikemukakan Thomas G. Pickering, dokter berkebangsaan Inggris, tahun 1970-an. Angka kejadiannya lumayan tinggi. Satu dari 4 pasien yang datang ke fasilitas kesehatan dengan diagnosis hipertensi, diduga mengalami WCHT.
Penyebab WCHT
European Society of Hypertension dan European Society of Cardiology menyatakan, seseorang disebut mengidap white-coat hypertension bila tekanan darahnya sedikit meninggi –- 140/90 mmHg atau lebih -- pada tiga kali kunjungan ke dokter. Sedangkan tekanan darah yang bersangkutan saat berada di rumah biasanya 130-135/85 mmHg. Diagnosa white-coat hypertension tidak dapat ditegakkan dalam 1-2 kali kunjungan ke dokter. Perlu dilihat, berapa rata-rata tekanan darahnya saat berada di rumah.
Sejumlah studi merekomendasikan untuk dilakukan pemantauan tekanan darah selama 24 jam, untuk menegakkan diagnosa white-coat hypertension. Pasien dipasangi alat monitor digital, yang dapat merekam fluktuasi tekanan darahnya selama 24 jam. Hasil rekaman tekanan darah dapat menjadi bahan untuk menyatakan, apa benar pasien ini mengalami WCHT. Rasa cemas pasien saat bertemu dokter atau tenaga kesehatan, diduga menjadi pemicunya. Kecemasan bisa karena panik, tidak siap mendengar diagnosa dokter, atau karena hal lain. Kondisi takut atau panik memang dapat menyebabkan tekanan darah meningkat sampai 30 mmHg.
Komplikasi WCHT
WCHT bersifat sementara, yakni saat pasien berada di lingkungan medis dan bertemu dokter berjas putih. Namun, penyakit ini tak bisa diabaikan. Menurut studi, WHCT sangat mungkin berkembang menjadi hipertensi sungguhan, dibanding pasien yang tekanan darahnya normal. Pasien dengan WCHT juga berisiko mengalami penyakit kardiometabolik lain. Dibanding mereka yang tekanan darahnya normal, mereka diketahui memiliki kadar kolesterol trigliserida, asam urat serta kadar gula darah lebih tinggi. Pada lanjut usia, white-coat hypertension juga dapat meningkatkan risiko terkena penyakit kardiovaskular. Risiko makin meningkat dengan bertambahnya usia dan indeks masa tubuh (BMI).
Pengobatan WCHT
Secara medis, terapi bagi pasien white-coat hypertension belum banyak tersedia. Tenaga kesehatan kadang ragu memberikan obat antihipertensi. Yang dikuatirkan bila setiba di rumah, tekanan darah pasien turun tak terkendali. European Society of Hypertension & European Society of Cardiology merekomendasikan obat penurun tekanan darah atau obat anti hipertensi, hanya diberikan kepada pasien white-coat hypertension dengan risiko tinggi atau sangat tinggi. Yaitu yang memiliki faktor risiko lain, seperti menderita diabetes melitus tipe 2, mengalami penurunan fungsi ginjal, mengalami penurunan fungsi organ, atau terdiagnosa penyakit jantung dan pembuluh darah lainnya. Selain terapi obat, pasien dianjurkan diet dan menjalani gaya hidup sehat.
Pasien WCHT risiko rendah, disarankan menjalani terapi non-farmakologis. Antara lain melakukan aktivitas fisik, menurunkan berat badan, kurangi konsumsi garam, dan stop merokok. (sur)
_________________________________________________________________
Ilustrasi: Health checkup photo created by senivpetro - www.freepik.com