Data WHO, saat ini jumlah mereka yang mengidap penyakit HIV/AIDS berjumlah 38 juta. Banyak di antara mereka adalah anak-anak dan ibu rumah tangga, yang tidak berdosa. Mereka adalah “korban”; istri tertular suami dan anak tertular ibunya saat dilahirkan. HIV/AIDS sampai saat ini masih tergolong sebagai penyakit yang mematikan. HIV. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia.
Virus ini dapat menyebabkan AIDS (acquired immunodeficiency syndrome), membuat tubuh tidak berdaya melawan infeksi. Kemajuan terapi anti-retroviral (ARV), membuat angka harapan hidup pasien HIV/AIDS meningkat sampai 95 persen di seluruh dunia, seperti terungkap dalam konferensi AIDS internasional di Wina, Austria, baru-baru ini.
"Di Indonesia, angka harapan hidup penderita sekitar 90 persen,” ujar Dewan Penasihat Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Prof. Dr. Zubairi Djoerban. Pasien yang rajin minum obat dengan dosis tepat, sesuai yang dianjurkan, dapat bertahan hidup selama lima tahun. Seorang laki-laki (66 tahun) dengan HIV selama 34 tahun bahkan dikabarkan sembuh.
Dia menjadi orang keempat di dunia yang dinyatakan sembuh. Uniknya, pasien ini sembuh setelah menjalani transplantasi sumsum tulang belakang untuk mengobati leukemia (kanker darah). Ia dikenal sebagai pasien "City of Hope", nama rumah sakit tempatnya dirawat di Duarte, California, Amerika Serikat. Sebagian besar temannya telah meninggal dunia akibat HIV. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia.
"Ketika didiagnosa HIV tahun 1988, saya tidak pernah berpikir akan hidup lama, untuk melihat hari ketika saya tidak lagi memiliki HIV," katanya. Saat ini, ia dalam masa remisi (berkurang atau menghilangnya tanda klinis suatu penyakit) selama lebih dari 17 bulan. "Kami sangat senang memberitahu dia, bahwa HIV-nya dalam remisi dan dia tidak perlu lagi diterapi antiretroviral yang telah dijalani lebih dari 30 tahun," kata Dr. Jana Dickter di Rumah Sakit City of Hope.
Derita stigma lebih
Pengidap HIV, terutama kaum perempuan dan anak-anak, sering mengalami penderitaan ganda. Selain derita penyakit, derita stigma tak kalah menyakitkan. Rumah ibu satu anak di Jakarta Utara dibakar oleh tetangga, setekah mereka tahu si empunya rumah mengidap HIV. Beruntung, dia beserta anaknya yang masih kecil sempat menyelamatkan diri. “Kata tetangga, dia pasti bukan perempuan baik-baik,” ujar tetangga yang menaruh simpati. “Padahal, dia tertular dari suaminya yang sudah meninggal. Waktu melahirkan, bayinya ikut tertular.”
Penderita HIV cenderung dijauhi, karena HIV/AIDS dianggap “penyakit para pendosa”: mereka punya kebiasaan seksual menyimpang seperti homo seksual atau sering berganti-ganti pasangan. Bisa jadi yang “nakal” adalah suami, tetapi istri dan anak-anak ikut terkena getahnya. Ketika suami meninggal karena HIV, anak istri yang tidak tahu apa-apa banyak yang ikut tertular.
Dalam kondisi sakit, istri harus mencari nafkah. Anak-anak di-bully di sekolah dan teman bermain. Petugas kesehatan pun banyak yang kurang berkenan memberi pelayanan. “Stigma muncul karena ibu yang kena HIV dinilai bukan perempuan baik-baik. Dan HIV dianggap sebagai penyakit berbahaya yang mudah ditularkan,” papar Riama Siringo-ringo, Manajer Psikososial Lentera Anak Pelangi. Pengidap HIV enggan berobat. Sedangkan, bila mereka dapat diobati lebih awal, kesempatan untuk sembuh lebih besar. (sur)