“Sindrom metabolik didefinisikan oleh WHO sebagai kondisi patologis,” ungkap dr. Cornelia Wahyu Danawati, Ph.D, Sp.PD-KEMD. Karena merupakan kondisi patologis, maka sindrom metabolik (SM) tidak bisa dianggap hal sepele lalu diabaikan begitu saja. Penyandang SM lebih berisiko 2 kali lipat mengalami kardiovaskular, dan 5 kali lipat mengalami diabetes mellitus tipe 2 (DM2).
SM ditandai dengan lima gangguan metabolik. Yaitu obesitas, resistansi insulin, hipertensi, hiperlipidemia, dan rasio pinggang-pinggul (menandakan obesitas sentral). “Diagnosis sindrom metabolik bisa ditegakkan bila terdapat tiga atau lebih kriteria tersebut,” ujar dr. Dana, dalam webinar Kedokteran Keluarga bertajuk Sindrom Metabolik dan Manfaat Probiotik, Sabtu (26/2/2022).
Ada 5 faktor yang berpengaruh dalam munculnya SM, antara lain epigenetik, genetik, lingkungan, inaktivitas fisik, dan pola makan yang kurang baik (tinggi gula, garam, lemak, dan kurang serat). “Kelima hal tersebut memicu terjadinya obesitas sentral. Obesitas sentral menyebabkan terjadinya pembesaran jaringan adiposa, yang akan meningkatkan sitokin-sitokin proinflamasi dan menurunkan adiponektin,” papar dr. Dana.
Hal ini akan menyebabkan inflamasi sistemik dalam tubuh, lalu memicu terjadinya rentetan kejadian yang berkaitan dengan kondisi metabolik. Di antaranya akumulasi lipid pada pembuluh darah, perlemakan hati, disfungsi sel beta, stres oksidatif, disfungsi endotel, hingga retensi garam/cairan. Akhirnya, terjadilah berbagai gangguan yang masuk kriteria sindrom metabolik.
Intervensi primer untuk SM bukanlah obat, melainkan perbaikan gaya hidup. “Meliputi pembatasan kalori sedang dengan tujuan menurunkan berat badan 5-10% dalam satu tahun pertama, peningkatan aktivitas fisik, dan perubahan komposisi diet. Bila tidak berhasil, barulah masuk ke terapi sekunder dengan bantuan obat,” tutur dr. Dana.
Penanganan Sindrom Metabolik di Layanan Primer
Tatalaksana sindrom metabolik di layanan primer tetap berdasarkan pada prinsip utama person-centeredness, dengan lima langkah pencegahan, yaitu promosi kesehatan, proteksi spesifik, diagnosis dini dan pengobatan yang tepat, pembatasan disabilitas, dan rehabilitasi.
Promosi kesehatan dilakukan dengan perbaikan pola hidup, pola makan, serta aktivitas fisik, dengan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki pasien. “Namun dokter tidak hanya bicara soal olahraga teratur dan makan sehat. Dokter juga harus mencari hal-hal yang bisa diterapkan pasien sehari-hari,” ujar dr. Aghnaa Gayatri, M.Sc, Sp.KKLP, Ph.D.
Misalnya bila pasien bekerja dan naik kendaraan pribadi untuk ke kantor, maka bisa disarankan untuk parkir agak jauh, sehingga bisa berjalan kaki sejenak menuju gedung kantor. Juga perlu digali bagaimana kebiasaan makan pasien sehari-hari, untuk mencari solusi apa yang bisa dilakukan pasien untuk menyiasatinya sehingga bisa memiliki pola makan yang lebih baik. “Pasien perlu diajak diskusi sehingga mereka lebih mudah memahami dan mengikuti pola hidup yang dianjurkan,” ucap dr. Aghnaa.
Ia mengingatkan bahwa pasien SM mengalami tidak hanya satu morbiditas, melainkan multimorbiditas. Kondisi ini mau tak mau membuat pasien harus dirujuk untuk berkonsultasi ke banyak dokter spesialis. Dampaknya, pasien bisa jadi bingung dan stres karena tiap minggu harus pergi ke dokter spesialis berbeda, dan minum banyak sekali obat. Pasien yang sudah terbebani dengan penyakitnya, makin terbebani dengan terapi yang harus dijalaninya.
“Di sinilah peran dokter keluarga di layanan primer. Sebagai kontak pertama pasien, dokter keluarga berperan menghubungkan pasien dengan berbagai layanan, dan mendorong pasien untuk berkonsultasi secara kontinyu dengan dokter keluarga. Pasien jangan dilepas,” tegas dr. Aghnaa.
Ia menambahkan, dokter keluarga juga perlu mengulas, obat-obatan apa saja yang diberikan oleh dokter spesialis. “Bila ada obat dari spesialis berbeda tapi memiliki fungsi yang sama, salah satunya bisa kita hilangkan. Kita perlu membantu pasien memahami fungsi tiap obat,” paparnya.
Peranan Probiotik
Menarik, sindrom metabolik ternyata turut dipengaruhi oleh kondisi mikroflora usus. Dalam hal ini yaitu ketidakseimbangan mikroflora usus (disbiosis). “Mikroorganisme pembusuk melakukan proses metabolisme dengan mendegradasi protein. Bila mikroorganisme ini tertimbun di usus, bisa menimbulkan berbagai gangguan metabolik dan aging,” jelas Prof. Dr. Ir. Endang S. Rahayu, MS, Guru Besar Bidang Mikrobiologi Pangan pada Fakultas Teknologi Pertanian UGM.
Diet tinggi lemak memicu Firmicutes dan Proteobacteria meningkat, memicu terjadinya peningkatan molekul penyebab inflamasi seperti Lipopoisakarida (LPS). Tak hanya itu, disbiosis juga meregangkan tight junction usus. Menurunnya fungsi barrier usus tersebut membuat permeabilitas usus terganggu sehingga endotoksin seperti LPS bisa masuk ke aliran darah, dan menimbulkan peradangan yang bisa memicu resistansi insulin dan kelainan kardiovaskular.
“Probiotik berperan mengembalikan keseimbangan mikroflora usus; dari kondisi disbiosis yang kurang menguntungkan menjadi eubiosis yang sehat,” terang Prof. Trisye. Inilah peranan utama probiotik dalam tatalaksana SM.
Konsumsi probiotik akan merangsang bertumbuhan bakteri-bakteri bermanfaat lainnya di usus. “Short chain fatty acid (SCFA) yang dihasilkan oleh bakteri bermanfaat mampu menstimulasi rasa kenyang dan mengurangi keinginan untuk makan,” imbuh Prof. Trisye, begitu ia biasa disapa. SCFA juga berperan memperbaiki permeabilitas usus sehingga bisa menurunkan adipositas dan inflamasi. Selain itu, Bifidobacteria sebagai salah satu bakteri asam laktat juga turut membantu menghambat perkembangan sel lemak, memperbaiki toleransi glukosa, serta meningkatkan sekresi insulin.
Sebuah penelitian meta analisis terhadap 32 penelitian yang dipublikasi di jurnal ilmiah bergengsi Nature, menemukan manfaat probiotik untuk membantu tatalaksana SM. “Penelitian tersebut menunjukkan bahwa probiotik secara signifikan berperan terhadap penurunan kolesterol total, trigliserida, CRP, HbA1c, glukosa puasa, insulin puasa, serta tekanan darah sistolik dan diastolik,” tutur Prof. Trisye.
Penelitian lain oleh Carl J. Hulston (2015) membuktikan peranan probiotik L. casei Shirota strain untuk mencegah resistansi insulin yang diinduksi pola makan tinggi lemak. Para response secara acak dibagi menjadi dua kelompok. Sebagian mengonsumsi susu fermentasi dengan kandungan L. casei Shirota strain dua kali sehari selama 4 minggu, dan kelompok lain mendapat plasebo. Pada 3 minggu pertama, mereka semua menjalani diet normal, dan 1 minggu berikutnya menjalani diet tinggi energi dan tinggi lemak.
Di akhir penelitian, ditemukan bahwa sensitivitas insulin pada kelompok plasebo menurun sesuai periode diet tinggi lemak. “Sedangkan di kelompok probiotik, sensitivitas insulin tetap normal. Konsumsi probiotik diperkirakan bermanfaat dalam pencegahan penyakit metabolik yang diinduksi diet, seperti DM2,” ujar Prof. Trisye. Ia mengingatkan, probiotik bukanlah obat, melainkan tambahan untuk membantu tatalaksana SM.
Hal ini diamini oleh dr. Aghnaa. Menurutnya sebagai pangan fungsional, probiotik cukup menjanjikan. “Probiotik bisa dimanfaatkan sebagai pencegahan di tahapan proteksi spesifik. Memang tidak berdiri sendiri, melainkan bersamaan dengan peningkatan aktivitas fisik dan perbaikan pola makan,” ucap dr. Aghnaa. (nid)