“Bila gula darah turun, maka risiko pasien diabetes alami serangan jantung juga berkurang.”
Ini adalah anggapan umum di tengah masyarakat, khususnya penderita diabetes. Padahal pendapat ini salah. Pasien diabetes, selain mengontrol gula darah, juga wajib turunkan kolesterol.
Sebagai gambaran, masalah kardiovaskular (penyakit jantung dan stroke) adalah penyebab kematian tertinggi di dunia. Sindroma metabolik (diabetes, dislipidemia, obesitas dan hipertensi) meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke di kemudian hari.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat satu dari tiga orang dewasa (>18 tahun) mengalami obesitas, menderita prediabetes, dislipidemia (gangguan lipid/kolesterol), hipertensi atau gabungan ketiganya (sindroma metabolik).
Dr. Dicky L Tahapary, PhD, SpPD-KEMD, FINASIM, menerangkan penderita diabetes kerap menganaktirikan kolesterol. Mereka berpikir, kolesterol tinggi bukan sesuatu yang berbahaya, karena sering kali tidak ada keluhan.
“Pasien diabetes kalau gulanya sudah terkontrol sudah tenang. Padahal kalau mau turunkan risiko kardiovaskular tidak cukup atur gula darah saja. Semuanya harus dikontrol. Berat badan dan tensi harus turun, gula darah kalau perlu dikasih pengencer darah. Dan, yang LDL-nya (kolesterol jahat) tinggi perlu diturunkan,” terang dr. Dicky, dalam webinar kefarmasian, Kamis (16/9/2021).
European Society of Cardiology (ESC) merekomendasikan mereka dengan faktor risiko kardiovaskular tinggi, seperti pernah mengalami serangan jantung, atau memiliki diabetes dengan berbagai komplikasinya, atau gangguan ginjal berat, target LDL kolesterol adalah < 55 mg/dL.
Sementara pada penderita diabetes usia muda, atau menderita diabetes <10 tahun tanpa komplikasi lain target LDL kolesterol adalah <100 mg/dL.
“Jadi pasien diabetes tidak cukup atur gula darah, kolesterol harus bagus juga, minimal <100mg/dl. Tetapi kalau DM dengan komplikasi lain, minimal <70mg/dL. Kalau DM dengan serangan jantung, gangguan ginjal berat bahkan <55 mg/dL,” tegas dokter yang praktik di Eka Hospitas BSD, Tangerang, ini.
Pada kasus dislipidemia, walau target utamanya adalah penurunan LDL (low-density lipoprotein) kolesterol, juga perlu memperhatikan kolesterol non-HDL (high-density lipoprotein / kolesterol baik) lain, seperti trigliserida dan apolipoprotein B (apoB).
ApoB adalah protein yang berhubungan dengan proses terjadinya penumpukan plak pembuluh darah (aterosklerosis).
“Sayangnya pemeriksaan apoB mahal, tetapi bisa diganti dengan periksa non-HDL kolesterol, karena nilai non-HDL kolesterol itu linear dengan kadar apoB. Pemeriksaan kolesterol total tidak bisa menggambarkan faktor risiko kardiovaskuler. Jadi baiknya periksa kolesterol secara lengkap dan hitung non-HDL kolesterolnya,” dr. Dicky menambahkan.
Finofibrate dan penurunan non-HDL kolesterol
Pasien diabetes dengan kadar LDL kolesterol tinggi perlu menurunkan level lipidnya. Caranya dengan perubahan gaya hidup, mulai dari konsumsi makanan tinggi serat, kurangi makanan berlemak jenuh, kurangi asupan gula dan olahraga teratur.
Jika target LDL kolesterol tidak tercapai berarti membutuhkan terapi obat, seperti golongan statin (untuk terapi lini pertama) dan fibrate (finofibrate) sebagai terapi kombinasi.
“Pertama-tama pasien diberikan statin sampai dosis tertinggi yang bisa ditoleransi. Tetapi kalau setelah itu trigliseridanya tetap tinggi >500 mg/dL diberikan terapi kombinasi statin + fibrate, dipertimbangkan juga pemberian suplemen omega-3,” terang dr. Dicky.
Dalam kesempatan yang sama Bima Suhendro, Sales Manager Cardiovascular PT Abbott menjelaskan fibrate (finofibrate) memiliki efek penurunan LDL kolesterol antara 5-20%, meningkatkan HDL hingga 10-35%, dan penurunan trigliserida yang signifikan (20-50%).
“Efek samping paling sering adalah gangguan saluran cerna. Lainnya, adalah miopati (kelemahan dan nyeri otot), walaupun jarang,” katanya.
Riset di American Journal of Cardiology (2010) mencatat Kombinasi statin + fibrate pada pasien berisiko tinggi dengan mix dislipidemia yang terbukti meningkatkan pencapaian kolesterol, baik itu LDL maupun non-HDL kolesterol, atau kedua-duanya.
“Kalau kedua-duanya tercapai, berarti risiko serangan jantung dan stroke turun. Residual risk (risiko sisa) untuk alami serangan jantung juga turun,” pungkas dr. Dicky. (jie)
__________________________________________________
Ilustrasi: Coffee photo created by rawpixel.com - www.freepik.com