Setiap orang pasti sudah pernah merasakan nyeri, misalnya sakit kepala, nyeri pinggang atau nyeri sendi. Nyeri adalah salah satu tanda vital. Nyeri juga dirasakan oleh pasien COVID-19, dan kerap kali perlu obat antinyeri, tetapi antinyeri yang mana yang direkomendasikan?
International association for study of pain mendefinisikan nyeri sebagai perasaan tidak nyaman yang disebabkan oleh sebuah proses kompleks. Bersifat subyektif, melibatkan faktor emosional dan sensoris.
Derajat rasa nyeri bersifat personal, dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk hormon, jenis kelamin, kepribadian, usia dll. Tetapi pada dasarnya, rasa nyeri adalah sesuatu yang harus segera dihilangkan.
Nyeri mempunyai dua muka: sebagai penanda untuk menghindari sakit yang lebih berat, dan sebagai penanda adanya kerusakan jaringan.
Apt. Andi Alfian, SSi, MSi, Sekretaris Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (PD IAI) Sulawesi Selatan, menjelaskan penanganan nyeri bertujuan untuk mengurangi intensitas/durasi keluhan nyeri, menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut (<2 minggu) menjadi kronis (>2 minggu).
“Dan, meningkatkan kualitas hidup dengan mengoptimalkan kemampuan pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari,” katanya dalam webinar kefarmasian, Selasa (29/6/2021).
Terapi antinyeri biasanya dengan memberikan obat anti-inflamasi non steroid (NSAID; misalnya aspirin, ibuprofen dan meloxicam), parasetamol, obat golongan opioid (methadone, morfin atau kodein) atau obat-obatan penunjang untuk membantu meredakan nyeri dalam keadaan tertentu, misalnya antidepresan.
Selama pandemi, obat anti-inflamasi ternyata juga dipakai dalam terapi COVID-19. Studi antara 17 Januari hingga 10 Agustus 2020 di Skotlandia, Wales dan Inggris dengan jumlah kasus mencapai 78.674 menyatakan 4.211 pasien menggunakan NSAID sistemik sebelum masuk rumah sakit.
Pada analisis subkelompok dalam penelitian yang lebih kecil – melibatkan 403 pasien COVID-19- penggunaan obat antipiretik (antidemam dan antinyeri) selama periode penyakit dilaporkan pada 134 pasien, 85 di antaranya diobati dengan parasetamol dan 49 dengan ibuprofen.
“Hasilnya tidak ada risiko diferensial dengan hasil yang lebih buruk dari dua kelompok perlakuan. Peneliti mengatakan penggunaan obat antinyeri tidak terkait dengan kematian yang lebih tinggi atau peningkatan keparahan COVID-19,” terang Andi.
Pada akhirnya, berdasarkan pengetahuan saat ini, dokter tidak boleh menahan diri atau menghentikan antinyeri pada pasien COVID-19, jika pengobatan NSAID diindikasikan.
Mekanisme kerja antinyeri
James Pangaribuan, selaku Product Manager Menarini Indonesia, dalam kesempatan yang sama menjelaskan mekanisme kerja obat antinyeri adalah dengan menghambat sintesis prostaglandin pada jalur COX (cyclooxygenase); COX 1 terlibat dalam perlindungan lambung, COX 2 berperan dalam peradangan dan nyeri.
Prostaglandin merupakan zat yang menyerupai hormon. Ia adalah mediator nyeri yang berperan penting dalam proses penyembuhan luka serta sistem reproduksi.
Tubuh akan memproduksi prostaglandin secara alami saat mengalami cedera. Saat adanya jaringan tubuh yang rusak atau terinfeksi, prostaglandin bersama dengan berbagai zat lain akan memulai proses penyembuhan yang ditandai dengan rasa sakit, demam dan bengkak.
Saat terjadi perdarahan, prostaglandin akan menstimulasi pembekuan darah dan kontraksi dinding pembuluh darah untuk menghentikan perdarahan.
“NSAID tradisional akan menghambat jalur COX 1 dan jalur COX 2, sedangkan obat penghambat COX (COX-inhibitor; misalnya celecoxib dan etoricoxib) secara selektif hanya menghambat jalur COX2,” terang James.
Pada antinyeri tradisional terhambatnya produksi prostaglandin menyebabkan berkurangnya peradangan, nyeri dan demam, tetapi di satu sisi fungsi perlindungan prostaglandin juga hilang. Mukosa lambung tidak terlindungi, sehingga lambung terasa nyeri bahkan menyebabkan luka (tukak) lambung, fungsi pembekuan darah terganggu dan bisa menyebabkan perdarahan.
Sementara untuk penghambat COX, tetap menghambat produksi prostaglandin tanpa menghilangkan fungsi perlindungan prostaglandin. “Sehingga efek samping seperti dalam pemberian NSAID tradisional tidak terjadi,” imbuh James.
Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Arthritis Research & Therapy 2013 menyatakan antinyeri COX-inhibitor menurunkan risiko pembentukan tukak dan komplikasi tukak lambung, dibandingkan NSAID.
Keuntungan lain antinyeri penghambat COX adalah memiliki waktu penanganan nyeri yang lebih panjang, dibanding NSAID tradisional. Ini berarti waktu yang dibutuhkan untuk minum obat berikutnya lebih lama.
Misalnya pada etoricoxib dalam waktu 24 menit segera meredakan nyeri, bekerja selama 24 jam (dosis sekali sehari), sehingga lebih nyaman bagi pasien.
Penghambat COX ini efektif dipakai dalam pengobatan nyeri kronis, radang sendi, penyakit autoimun, rheumatoid arthritis, radang karena asam urat, nyeri otot kronis dan nyeri yang berhubungan dengan bedah mulut dan gigi. (jie)
_______________________________________________________________________
Ilustrasi: Hand photo created by jcomp - www.freepik.com