Beberapa hari belakang ini publik dikejutkan dengan kasus swab antigen bekas di Bandara Kualanamu, Medan. Belajar dari kasus ini sangat penting memilih metode tes yang akurat dan aman.
Dalam konferensi pers di Mapolda Sumut dijelaskan, stik bekas pakai yang digunakan untuk swab antigen calon penumpang pesawat Bandara Kualanamu dicuci menggunakan alkohol 75 % di Kantor PT Kimia Farma di Jalan RA Kartini, Medan.
Kemudian, stik daur ulang dikirim ke Kimia Farma Bandara Kualanamu untuk digunakan kembali kepada calon penumpang pesawat. Konferensi pers tersebut menghadirkan tersangka manajer Kimia Farma berinisial PC, dan empat pegawainya yakni SP, DP, BM dan RN.
Menyoal kasus antigen palsu tersebut dr. Pandu Riono PhD, MPH, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, berkomentar skrining dan diagnosis dengan tes swab antigen menjadi pemeriksaan yang standar dan diakui WHO serta Kementerian Kesehatan RI.
Sayangnya, “Implementasi di lapangan tidak konsisten, tak patuh pada standard, karena sejak awal pandemi, layanan tes jadi ajang bisnis. Kemenkes RI perlu ambil alih agar sesuai tupoksi,” cuit Pandu dalam akun Twitternya.
Polda Sumut juga menyatakan Plt Business Manajer Laboratorium Kimia Farma Medan berinisial PM yang merangkap Kepala Layanan Kimia Farma Diagnostik Bandara Kualanamu meraup keuntungan sebesar Rp30 juta per hari dari pelayanan tes antigen bekas.
Nominal tersebut terungkap penyidikan yang dilakukan Direskrimsus Polda Sumut. Kegiatan daur ulang ini sudah dilakukan oleh pelaku sejak bulan Desember 2020.
Dr. Pandu Riono menambahkan bisnis testing pada pelaku perjalanan, di bandara maupun stasiun, sangat mengerikan. “Dulu Tes antibodi, kini tes antigen dengan alat pengambil swab daur ulang, dan banyak lagi. Semuanya berbisnis dengan cara-cara yg melanggar aturan dan merugikan publik. Tidak heran kasus terus meningkat,” tulisnya.
Sementara itu dr. Tirta Hudhi, dokter yang juga pegiat media sosial mengatakan syarat testing untuk melakukan perjalanan tidak relevan.
“Di bulan Agustus (2020) saya sudah bilang bareng-bareng nakes yang lain, syarat tes antigen untuk perjalanan itu tidak relevan, karena toh COVID bisa menular dari masa saja. Yang penting itu 3M ketika di pesawat atau transportasi umum,” katanya di Twitter.
Yang perlu dipahami, kejadian tes antigen bekas ini bisa menjadi bumerang bagi penanganan pandemi di Tanah Air, masyarakat menjadi semakin enggan melakukan tes COVID-19 dan meragukan hasilnya. Ujungnya menjadi masyarakat yang abai terhadap COVID-19.
Kembali ke PCR?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) masih menyatakan bila tes PCR (polymerase chain reaction) sebagai golden standard untuk mendeteksi infeksi SARS-CoV-2. Masalahnya, selain hasilnya membutuhkan waktu 1-2 hari, juga biayanya tidak murah.
Dalam keterangan pers yang diterima OTC Digest, Daewoong Pharmaceutical Company Indonesia (farmasi asal Korea Selatan) telah mendaftarkan alat uji PCR dalam E-Katalog.
Dengan pendaftaran dalam E-Katalog, masyarakat kini dapat menggunakan alat uji PCR ini melalui program jaminan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah. Alat uji PCR ini bernama AccuraDTect SARS-Cov-2 RT-qPCR.
Alat ini memiliki tingkat sensitivitas tinggi dan dapat mendiagnosis infeksi virus dalam waktu empat jam setelah pengambilan sampel. Alat ini telah memperoleh izin untuk penggunaan darurat di Peru dan Singapura.
Sengho Jeon, CEO PT Daewoong Pharmaceutical Company Indonesia mengatakan, "Permintaan alat uji PCR semakin meningkat seiring dengan penyebaran COVID-19 yang semakin luas di seluruh dunia. Kami berharap alat uji berkualitas yang disediakan oleh Daewoong dapat membantu upaya penanganan COVID-19 di Indonesia.” (jie)