Program vaksinasi COVID-19 yang dimulai sejak Januari 2021 membawa dampak penting dalam penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia. Setelah vaksinasi tahap pertama pada nakes yang hampir 100%, diketahui vaksinasi lansia berjalan sangat lambat. Ada pula tantangan dalam distribusi rantai dingin (cold chain) vaksin ke pelosok.
Berdasarkan data Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), per 10 April 2021, dari target sasaran vaksinasi sebanyak 181.554.465, baru sekitar 5.050.524 orang yang menyelesaikan dua tahap vaksinasi.
Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS – Plt. Dir Jend Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes mengatakan kondisi geografis Indonesia dan iklim tropis menjadi tantangan utama dalam pelaksanaan vaksinasi COVID-19.
“Dalam pedistribusian vaksin, dibutuhkan rangkaian distribusi suhu dingin (cold chain), di mana vaksin harus selalu berada dalam kondisi suhu dingin tertentu dalam wadah penyimpanannya untuk menjaga kualitas dan efektivitas vaksin’” katanya.
Vaksin Sinovac harus disimpan dalam suhu antara 2-8 derajat celcius.
Dia menambahkan, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyusun rencana distribusi vaksin adalah ketersediaan kendaraan, ketersediaan dan kapasitas alat pendingin sesuai karakteristik vaksin, stok maksimum dan minimum vaksin, dll.
“Selama proses distribusi harus dipastikan kualitas vaksin terjaga baik. Untuk itu harus dilakukan pemantauan vaksin sepanjang proses distribusi. Dari Biofarma ke provinsi digunakan Bio Tracking dan Bio Detect yang dilengkapi freeze alert. Memberikan peringatan dini ketika ada perubahan suhu yang signifikan dan dapat berdampak terhadap kualitas vaksin.” jelasnya dalam acara diskusi media virtual Tantangan Distribusi Vaksin COVID-19 ke Pelosok Indonesia, Selasa (20/04/21).
Vaksin kedaluarsa?
Dalam kesempatan yang sama dr. Kristoforus Hendra Djaya, Tim Advokasi Vaksinasi COVID-19 PB IDI menjelaskan ada masalah lain yang cukup krusial, yakni keengganan masyarakat untuk ikut vaksinasi COVID-19 terkait isu-isu tentang vaksin yang kedaluarsa atau rusak saat diterima.
“Sebenarnya yang terjadi bukanlah vaksin yang kedaluarsa (expired), tetapi masa pakai vaksin yang dikeluarkan sesuai izin penggunan darurat (EUA),” jelas dr. Kristo yang juga merupakan internist dan vaksinolog di Inharmony Clinic.
“Kebanyakan vaksin di dunia masa expired-nya 3 tahun. Hanya vaksin flu yang disepakati dibuat expired dalam satu tahun karena setiap tahun ada jenis virus flu baru. Sementara vaksin COVID-19 kan masih baru, bahkan belum ada 1 tahun,” tambahnya.
Tidak pula berarti vaksin akan langsung rusak jika keluar dari suhu yang ditentukan. Dr. Kristo menjelaskan dalam proses pembuatannya, produsen akan menghitung thermostability vaksin, atau efektivitas vaksin bila di luar suhu yang direkomendasikan.
“Kalau vaksin itu tidak tahan panas, (bila berada di suhu di luar rekomendasi) maka expired-nya memendek. Tetapi tidak usah dipusingkan, karena setelah vaksin di keluarkan dari boks kan langsung disuntikkan,” imbuhnya.
Kesulitan vaksinasi lansia
Sebagaimana diketahui bersama proses vaksinasi lansia berjalan sangat lambat. Sementara tingkat kematian pada lansia (> 60 tahun) akibat COVID-19 sebesar 48,1%. Ini merupakan jumlah tertinggi dibanding kelompok usia manapun.
Tingginya kematian pada lansia ini disebabkan kondisi mereka yang lebih rentan dan memiliki banyak faktor pemberat (komorbid). Riskesdas 2018 menyatakan pada kelompok lansia 63,5% menderita hipertensi, 5,7% dengan diabetes, dan 4,5% berpenyakit jantung.
Artinya, lebih banyak lansia yang sakit, dibandingkan lansia sehat. Sementara salah satu syarat vaksinasi adalah bila penyakitnya terkontrol. Tampaknya ini juga yang mempengaruhi lambatnya vaksinasi lansia.
Dr.Bettia M.Bermawi,Sp.PK, dari Sentra Vaksinasi Serviam, salah satu pelaksana vaksinasi COVID-19 pada lansia, menjelaskan bahwa lansia perlu pendampingan, edukasi yang jelas dan sering mempunyai komorbid sehingga sebaiknya tidak menunda vaksinasi jika lansia dalam kondisi layak vaksin.
“Diperlukan juga peran serta dari para pamong, tokoh masyarakat sosialisasi pada anak atau caregiver sehingga lansia bisa diajak datang untuk divaksin,” ujarnya.
Boks vaksin lokal
Menjawab tantangan perlunya boks penyimpan vaksin yang handal, telah dikembangkan produk lokal Insulated Vaccine Carrier (IVC) berteknologi tinggi.
Direktur Utama PT Trisinar Indopratama (Technoplast), Ellies Kiswoto mengungkapkan IVC Technoplast mampu memberikan kestabilan suhu ruangan antara 2 - 8 derajat celcius dalam waktu 48 jam, meski suhu di luar ruangan mencapai 30 derajat celcius.
IVC Technoplast dilengkapi teknologi IOT yang tidak sekadar mendeteksi suhu dan lokasi saja, tetapi juga tanggal pengiriman vaksin dari produsen, jumlah vaksin, real time lokasi, track record suhu, nama kurir, identifikasi pesawat, dan nomor plat mobil.
IVC Technoplast telah dinyatakan lolos uji oleh balai sertifikasi SUCOFINDO. (jie)