Pandemi COVID-19 tampaknya juga berdampak pada ‘keperkasaan’ pria. Para ahli mencatat ada kenaikan kejadian disfungsi ereksi yang dipicu oleh pandemi.
Disfungsi ereksi (DE) secara klinis diartikan sebagai ketidakmampuan mencapai atau mempertahankan ereksi penis untuk memperoleh hubungan seks yang memuaskan.
Dr. Dyandra Parikesit, BMedSc, SpU, dari RS Universitas Indonesia, menjelaskan disfungsi ereksi sekunder – awalnya mampu ereksi normal kemudian mengalami gangguan – banyak terjadi selama pandemi.
“Mekanisme pastinya belum jelas karena belum ada riset head to head yang menyatakan hubungan lansung antara virus corona dan disfungsi ereksi,” katanya dalam webinar peluncuran TOPGRA, Solusi Atasi Disfungsi Ereksi Saat Pandemi, Kamis (8/4/2021).
Tetapi dr. Dyandra menjelaskan pandemi COVID-19 meningkatkan kejadian disfungsi ereksi lewat beberapa mekanisme.
1. Inflamasi
Peradangan yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 tidak hanya mempengaruhi paru-paru, tetapi juga menyebabkan disfungsi endotel (sel yang melapisi pembuluh darah).
“Mengakibatkan pembuluh darah kaku. Ada penurunan aliran darah ke corpus cavernosum (jaringan seperti spons di penis yang akan mengembang terisi darah saat ereksi). Jaringan erektil ini tidak ada yang mengisi sehingga sulit ereksi,” terangnya.
Charalambos V, dkk., dalam studi yang dipublikasikan di jurnal European Urology mencatat ada hubungan antara inflamasi, sindroma metabolik, penyakit pembuluh darah koroner dan disfungsi ereksi.
2. Efek di testis
Riset tahun 2020 oleh Geoffrey Hackett dan Michael Kirby menyatakan terjadi penurunan kadar hormon testosteron pada pasien COVID-19.
Sirkulasi virus corona dalam darah masuk ke sel testis dengan bantuan reseptor ACE 2 (angiotensin-converting enzyme 2). Menyebabkan jaringan testis mengalami fibrotik (mengeras; muncul jaringan parut) dan terjadi penurunan kadar hormon testosteron yang diproduksi testis. Sulit ereksi.
3. Kesehatan mental
Brazilian Journal of Psychiatry 2021 mencatat dampak pandemi COVID-19 pada kesehatan mental berpengaruh pada kesehatan seksual.
“Jaga jarak, karantina, isolasi, keluarga dan sekitar terkena COVID-19, ditambah kondisi finansial menyebabkan ansietas dan depresi. Ini mempengaruhi performa seks dan libido. Ujungnya juga sulit ereksi,” tambah dr. Dyandra.
Sulit ereksi akan memperburuk ansietas (gangguan kegelisahan) dan depresi. Menjadi lingkaran setan yang mempengaruhi performa seks dan libido.
4. Kesehatan secara umum
Kondisi tubuh menurun atau sakit berat menyebabkan penurunan fungsi jantung dan pembuluh darah. Aliran darah ke corpus cavernosum pun berkurang, bahkan tidak ada. Akhirnya ereksi optimal sulit terjadi, dr. Dyandra menambahkan.
Terapi gaya hidup dan penghabat PDE 5
Ereksi normal membutuhkan gabungan unsur psikis (stres), saraf (ransangan transmisi neural) dan pembuluh darah yang normal. Apapun yang memengaruhi satu dari tiga faktor tersebut akan mempengaruhi ereksi.
Kesehatan pembuluh darah pun dipengaruhi oleh banyak hal, seperti usia dan penyakit metabolik (diabetes, hipertensi, kolesterol tinggi, obesitas).
“Oleh karena itu agar terhindar dari disfungsi ereksi perlu menghindari (mengontrol) faktor risiko, seperti diabetes dan hipertensi, melakukan pola hidup sehat dan menurunkan stres,” imbuh dr. Dyandra.
Selain modifikasi gaya hidup, dokter mungkin akan meresepkan obat lini pertama sildenafil sitrat. Obat ini bekerja menghambat PDE 5 (phosphodiesterase 5), meningkatkan nitrit oksida (NO) dan produksi cGMP (cyclic guanosine monophosphate) dalam tubuh.
Sildenafil sitrat memicu terjadi relaksasi otot dan pembuluh darah di penis, meningkatkan aliran darah ke penis dan menurunkan aliran darah keluar dari penis.
Dalam kesempatan sama Apt. Rony Syamson, S.Farm, dari DKT Indonesia menjelaskan, obat yang mengandung sildenafil sitrat dianjurkan diminum satu jam sebelum berhubungan seks.
“Efeknya bertahan dalam 4-6 jam,” kata Rony.
Disfungsi ereksi bisa kambuh?
Dengan banyaknya penyebab gangguan ereksi, selalu ada kemungkinan untuk kambuh walau sudah berobat.
“Tergantung penyebabnya, apakah stres atau kondisi tubuh kurang sehat,” tukas dr. Dyandra. “Selama pemicunya stres maka keluhan disfungsi ereksi bisa balik lagi. Kalau karena penyakit, misalnya diabetes atau jantung, selama terkontrol dan hidup sehat risiko keluhan disfungsi ereksi lagi lebih rendah.”
“Tapi ingat juga dengan pertambahan usia, risiko disfungsi ereksi juga bertambah. Usia di atas 55 tahun prevalensi DE sekitar 47%, sementara di atas 75 tahun menjadi 78%,” (jie)