Di tengah kecemasan karena melonjaknya kasus harian terkonfirmasi COVID-19 di Indonesia pada bulan kesembilan pandemi, kehadiran 1,2 juta dosis vaksin COVID-19 siap suntik dari China Ahad lalu seperti seberkas cahaya di tengah langit gelap gulita.
Saat kebijakan pengendalian COVID-19 tidak efektif mencegah penularan baru sehingga kasus positif mencapai lebih dari 580.000 kasus dan angka kematian terus naik, harapan kini tertumpu pada vaksin yang diharapkan mampu mendorong tubuh menciptakan antibodi sehingga dapat melawan saat diserang oleh virus.
Walau sudah sampai di Indonesia, vaksin ini sebenarnya belum selesai pada uji tahap tiga atau tahap akhir sebelum diproduksi massal. Penggunaan vaksin COVID saat ini baik di China maupun di Indonesia dalam waktu dekat baru pada tahap pemakaian dengan izin darurat untuk kelompok berisiko tinggi seperti petugas kesehatan.
Jika kelak vaksinasi massal dilakukan, apakah COVID-19 akan segera hilang dari Indonesia? Apakah vaksin yang akan digunakan ini benar-benar aman? Apakah vaksin akan efektif melawan virus SARS-CoV-2? Apakah pemberian satu kali vaksinasi akan cukup memadai?
Dua studi terakhir menunjukkan antibodi terhadap COVID-19 hanya bertahan 3-4 bulan pada orang yang sudah sembuh dari penyakit COVID-19. Karena itu terjadi beberapa reinfeksi (orang yang sudah sembuh kemudian sakit lagi).
Sejarah vaksinasi menunjukkan ada jenis vaksin yang hanya butuh diberikan sekali untuk seumur hidup, ada yang perlu setiap 10 tahun, dan ada juga yang setiap tahun.
Keamanan vaksin dan efektivitasnya
Sebuah vaksin dinyatakan aman jika tidak ada efek samping, atau efek sampingnya ringan; tidak ada kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), atau KIPI yang ringan seperti demam dan nyeri. Tapi sebenarnya tidak ada zat yang sama sekali aman. Bahkan air dan oksigen saja bisa menimbulkan bahaya pada keadaan tertentu.
Keamanan vaksin dapat kita lihat pada laporan uji klinik fase 1 dan 2. Tanpa bukti hasil uji klinis fase 1 dan 2 yang baik, maka uji klinis fase 3 tidak dapat dilaksanakan.
Artinya, jika sebuah vaksin sedang atau akan menjalani uji klinis fase 3, seperti vaksin Sinovac di Bandung yang melibatkan lebih dari 1.600 relawan, maka dapat diduga bahwa vaksin tersebut terbukti aman.
Dalam uji ini, akan terjawab berapa banyak orang yang mendapat vaksin akan terkena penyakit COVID-19 dibandingkan dengan orang yang mendapat placebo (vaksin kosong). Jika mereka yang mendapat vaksin jauh lebih sedikit mengalami sakit dibandingkan dengan mereka yang mendapat vaksin kosong dan secara statistik perbedaannya signifikan, maka vaksin tersebut efektif dalam situasi penelitian. Efektivitas dalam masyarakat umum masih harus dibuktikan lebih lanjut.
Jika sebagian besar populasi disuntik vaksin, berapa lama vaksin tersebut akan memberikan perlindungan kepada semua populasi?
Untuk menjawab ini kita bisa belajar dari sejarah vaksin sepanjang masa.
Frekuensi vaksinasi
Vaksin yang sampai saat ini paling efektif dalam sejarah adalah vaksin untuk mencegah cacar (smallpox). Ini vaksin paling awal yang merupakan cikal bakal teori vaksinasi.
Vaksinasi yang berdasarkan pada metode vaksin ciptaan pada 1798 ini berhasil menumpas virus cacar dari seluruh penduduk dunia pada 1977. Sejak itu vaksinasi cacar tidak pernah lagi diberikan kepada penduduk.
Vaksin lain yang hampir berhasil menumpas penyakit adalah vaksin polio. Berbeda dengan vaksin cacar yang hanya diberikan sekali seumur hidup, vaksin polio harus diberikan berulang-ulang agar tercapai kadar antibodi yang memadai. Meski Indonesia telah dinyatakan bebas polio sejak 2014 tapi vaksinasi masih tetap jalan untuk pencegahan, karena ternyata polio masih ada di Indonesia.
Vaksin lain yang dianggap cukup efektif adalah vaksin BCG untuk mencegah TBC. Vaksin BCG digunakan sejak 1921.
Berbagai riset memperlihatkan bahwa vaksin BCG yang diberikan kepada bayi baru lahir akan melindungi bayi dari TBC paru dan TBC yang menyebar melalui pembuluh darah (TBC milier, salah satu bentuk TBC yang berat).
Beberapa riset memperlihatkan bahwa efek dari vaksin ini bertahan sampai 10 tahun di Inggris, 30-40 tahun di Norwegia dan 50-60 tahun di Alaska. Di Indonesia belum ada riset sejenis, tapi vaksin BCG hanya diberikan sekali seumur hidup.
Setelah dewasa, perlindungan yang diberikan oleh BCG adalah perlindungan terhadap penyakit TBC berat saja. Artinya mereka yang pernah mendapat vaksin BCG kemungkinan besar tidak akan mengalami TBC selaput otak (meningitis) atau TBC milier. Sampai saat ini perlindungan ini dianggap cukup memadai karena kedua jenis TBC ini yang menyebabkan kematian tertinggi.
Selain itu, pengobatan terhadap kuman TBC sudah ditemukan dan terus dikembangkan, terutama terhadap tuberkulosis yang resistan obat standar.
Meski demikian, riset mengenai masih tetap berjalan sampai sekarang.
Vaksin terhadap diferi (DPT atau DT) adalah contoh vaksin lain yang dianggap efektif. Namun untuk mempertahankan efek maksimal dari vaksin ini, vaksinasi harus diulang setiap 10 tahun setelah pemberian pada masa bayi dan kanak-kanak.
Vaksin lain yang perlu kita pelajari adalah vaksin influenza. Flu di negara empat musim sering menyebabkan kematian, atau minimal perawatan di rumah sakit.
Karena itu, vaksinasi terhadap flu sangat diperlukan, terutama untuk orang-orang yang mempunyai faktor risiko yang tinggi, misalnya lansia atau orang dengan gangguan paru. Karena virus-virus penyebab influenza mudah bermutasi dan kemudian tidak dikenali oleh sistem pertahanan tubuh, maka vaksin flu harus diulang setiap tahun.
Vaksin terbaik diukur dari sudut keamanan, efek samping, pembentukan antibodi dan efikasinya.
Efikasi adalah tingkat daya lindung vaksin pada kondisi uji klinis. Kondisi uji klinis sifatnya optimal dan terkendali, baik dari penyiapan vaksinnya, maupun dari faktor orang yang mendapat vaksinnya, yaitu orang yang sehat dan memenuhi berbagai kriteria yang ditentukan peneliti.
Efikasi didapat dari uji klinis fase 3, dengan menghitung risiko terjadinya penyakit pada kelompok orang yang mendapat vaksin dan yang tidak mendapat vaksin.
Jika dari 100 orang yang mendapat vaksin terdapat 5 orang yang terbukti (terkonfirmasi) sakit dan pada 200 orang yang tidak divaksin terdapat 40 orang yang terbukti (terkonfirmasi) sakit, maka efikasi dapat dihitung: ((40/200)-(5/100))/(40/200)= 0,8 atau 80%.
Ini berarti kelompok yang mendapat vaksin mengalami sakit (terkonfirmasi) 80% lebih sedikit daripada yang tidak mendapat vaksin.
Bagaimana dengan vaksin COVID-19?
Lalu, apakah vaksin COVID-19 nanti akan seperti vaksin cacar, polio, BCG, DPT atau influenza yang harus diulang setiap tahun?
Sampai kini belum ada jawaban atas pertanyaan itu. Kita harus menunggu hasil akhir dari uji klinis vaksin fase 3 yang kini sedang berjalan di berbagai negara, termasuk di Indonesia yang dimulai Agustus lalu.
Dalam uji klinis tahap tiga, peneliti memantau kadar antibodi yang terbentuk dan kejadian infeksi COVID-19 pada relawan uji vaksin.
Dengan mengukur kadar antibodi pada bulan pertama setelah vaksinasi, akan terlihat berapa banyak antibodi yang terbentuk pada bulan pertama. Lalu akan dilihat lagi kadarnya pada bulan ke-3: apakah makin tinggi atau tetap saja.
Pemantauan berikutnya pada bulan ke-6: apakah kadar antibodinya masih cukup tinggi atau sudah mulai menurun. Informasi-informasi tersebut akan menentukan apakah vaksin yang diuji cukup baik.
Jika vaksin yang diuji saat ini hanya mampu melindungi kita selama, misalnya, 3 bulan, dengan efikasi yang tinggi, maka tetap akan lebih baik mendapat vaksin daripada tidak mendapat vaksin.
Jalan masih panjang
Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia dan badan-badan sejenis di seluruh dunia mempunyai otoritas untuk memberikan izin penggunaan obat, termasuk vaksin baru, dalam keadaan emergensi.
Dengan mempertimbangkan keamanan dan efikasi serta faktor-faktor lainnya, Emergency Use Authorization akan diberikan. Izin ini bersifat sementara dan dapat ditarik sewaktu-waktu. Salah satu contoh obat yang mendapat EUA dan kemudian adalah kina untuk mengobati COVID-19.
Pemberian EUA pada vaksin COVID-19 tidak akan menghentikan riset terhadap vaksin. Vaksin yang sedang dikembangkan saat ini sangat bervariasi.
Semua calon vaksin itu menunggu pembuktian keamanan dan efikasinya. Kita perlu waktu yang lebih panjang untuk mendapatkan vaksin yang terbukti aman, nyaman, dan efektif. Jadi, jalan menuju penghapusan COVID-19 masih panjang.
Yulia Sofiatin, Lecturer of Epidemiology dan Biostatistics, Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation.
Ilustrasi: Space photo created by freepik - www.freepik.com