Maret lalu saat banyak rumah sakit di New York ‘terguncang’ oleh lonjakan kasus COVID-19, Amerika ternyata hanya mengalami ‘sebagian kecil’ dari krisis yang diperkirakan akan jauh lebih besar.
Jumlah harian kasus tertinggi yang tercatat selama musim semi (Maret - Mei) mencapai 35.000, walau diperkirakan masih banyak yang tidak terhitung. Sekarang, AS mencatat rerata lebih dari 112.000 kasus per hari, selama 7 hari terakhir.
Pada hari Senin (9/11/2020) lalu, total kasus di Amerika Serikat melampaui 10 juta kasus, dengan positivity rate mingguan mencapai 9%. Dr. Anthony Fauci, direktur dari National Institute of Allergy and Infectious Disease, mengatakan idealnya angka tersebut <3% (menurut stadar WHO <5%).
Hanya enam negara bagian dan Washington DC yang saat ini memenuhi ambang batas tersebut. Separuh negara bagian memiliki positivity rate dalam dua digit; negara bagian South Dakota adalah yang tertinggi dengan 54%.
Para ahli memperkirakan di musim gugur- dingin akan menjadi yang terbesar, dan mungkin yang paling mematikan. Lonjakan kedua yang dialami negara itu terjadi selama musim panas (Juni – Agustus), menghasilkan hampir 4,2 juta kasus. Dan sejak September, AS telah mencatat sekitar 4 juta kasus lebih.
Dilansir dari Science Alert, menurut prediksi terbaru oleh Pantheon Macroeconomics, AS dapat mencatat 1 juta kasus COVID-19 per hari pada akhir tahun 2020, jika rata-rata kasus terus tumbuh 34 % dari minggu ke minggu, seperti saat ini.
Model lain menawarkan perkiraan yang lebih ‘melegakan’. The University of Washington’s Institute for Health Metrics and Evaluation, misalnya, memperkirakan bahwa kasus harian dapat mencapai puncaknya menyentuh 300.000 kasus per hari pada 31 Desember.
Lembaga ini mendefinisikan kasus harian sebagai semua infeksi pada hari tertentu, bukan hanya kasus baru yang diidentifikasi melalui tes.
Jika negara-negara bagian terus melonggarkan pembatasan, model tersebut menunjukkan lonjakan di musim gugur- dingin bisa lebih buruk, mencapai puncak di 793.000 kasus per hari pada 23 Januari.
Lembaga tersebut juga memperkirakan bahwa 160.000 lebih orang di AS dapat meninggal karena virus corona dari November 2020 hingga 1 Februari 2021.
Pembagian anggaran pengendalian pandemi di Tanah Air
Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, Indonesia jauh lebih baik. Menurut situs worldometers.info, Indonesia berada di peringkat ke 21, sementara AS adalah negara dengan kasus COVID-19 terbanyak di dunia.
Satgas Penanganan COVID-19 menyatakan kasus aktif di Indonesia lebih kecil dari angka dunia, dan kesembuhannya pun terus membaik. Tetapi yang perlu dicermati adalah positivity rate tetap tinggi (sekitar 14,4%).
Positivity rate menunjukkan jumlah kasus positif COVID-19 dibandingkan dengan jumlah tes spesimen yang dilakukan. Persentase positivity rate tinggi berarti penularan yang masih tinggi dalam suatu populasi yang menjalani tes.
Beberapa pakar mengkritisi kebijakan penanganan pandemi yang diambil pemerintah. Ketua Policy Center Ikatan Alumni (ILUNI) Universitas Indonesia Jibriel Avessina mengingatkan agar pemerintah meningkatkan tes RT-PCR sesuai standar WHO, yakni 1000 orang / 1 juta penduduk.
Ia juga menyoroti penggunaan anggaran penanganan COVID-19. Dari sebesar Rp 696,2 triliun, pemerintah hanya menyisihkan Rp 87.55 triliun untuk biaya kesehatan. “Sektor kesehatan terkesan menjadi pilihan kedua karena seolah-olah pemerintah lebih fokus pada penguatan ekonomi, misalnya komite yang dibentuk berisikan pejabat bidang ekonomi, serta berbagai stimulus ekonomi dengan anggaran yang jauh lebih besar dari biaya kesehatan itu sendiri,” kritiknya dalam diskusi virtual bertajuk ‘Evaluasi Kebijakan Penanganan Pandemi COVID-19’, Jumat (6/11).
Dalam kesempatan yang sama, Drs. Julian Aldrin Pasha, MA, pakar kebijakan publik mengatakan, pemerintah perlu menentukan prioritas dan penilaian antara pilihan ekonomi atau kesehatan.
Dari dua opsi yang ada, data membuktikan penerapan social distancing secara ketat bisa menekan penularan, tapi berdampak pada ekonomi. “Sementara, jika menerapkan status quo dengan membayangkan keadaan normal, vaksin masih belum diketahui kepastiannya,” terang Julian.
ILUNI UI mengusulkan optimalisasi anggaran penanganan COVID 19 dengan membagi menjadi dua anggaran menjadi program dan anggaran operasional program, realokasi anggara, serta menjaga produktivitas UMKM. (jie)