Kementerian Kesehatan menyatakan bila ada tren peningkatan prevalensi diabetes dari 6,9% (2013) menjadi 8,5% (2018). Ini berarti diperkirakan 22,9 juta orang Indonesia menderita diabetes. Sayangnya 3 dari 4 penderita diabetes tidak tahu dirinya terkena diabetes hingga muncul komplikasi. Perubahan gaya hidup dibarengi pengobatan yang sesuai bisa membantu mengontrol gula darah. Salah satu inovasi obat antidiabetes terbaru adalah penghambat SGLT-2.
The American Diabetes Association merekomendasikan metformin sebagai terapi oral awal untuk diabetes tipe 2. Namun tidak gampang menurunkan gula darah sesuai target hemoglobin terglikasi (HbA1c) <7%.
HbA1c menggambarkan kondisi gula darah rata-rata dalam 3 bulan. Pada penderita diabetes kadar HbA1c bisa >8%, sementara nilai HbA1c orang normal adalah <6%.
Riskesdas mencatat bahwa 50,4% penderita diabetes di Indonesia yang tidak rutin meminum obat atau suntik insulin karena merasa keadaan tubuh mereka sudah membaik sehingga yakin tidak membutuhkannya lagi.
Survei juga mengungkapkan 30,2% penderita diabetes tidak rutin berobat ke fasilitas kesehatan, sementara 25,3% pasien memilih untuk minum obat tradisional dan 18,8% lainnya mengatakan sering lupa minum obat.
SGLT-2 sebagai terapi tambahan
Sulitnya mencapai target gula darah membutuhkan inovasi terapi pengobatan antidiabetes, salah satunya adalah inhibitor Sodium-Glucose Cotransporter-2 (penghambat SGLT-2). Penghambat SGLT-2 diberikan (terapi tambahan) jika target penurunan gula darah tidak tercapai setelah 3 bulan.
SGLT-2 merupakan transporter yang menyerap kembali glukosa ke dalam ginjal. Obat penghambat SGLT-2 bekerja dengan menghambat reabsorpsi glukosa, kemudian dibuang lewat urin sehingga glukosa plasma bisa diturunkan.
Sejauh ini beberapa jenis penghambat SGLT-2 yang telah disetujui FDA seperti canagliflozin (Invokana, Janssen), dapagliflozin (AstraZeneca) dan empagliflozin (Jardiance, Boehringer Ingelheim). Obat ini diberikan secara oral sekali sehari.
Penghambat SGLT-2 terbaru adalah Enavogliflozin (Daewoong Pharmaceutical). Obat ini masih dalam uji klinis fase 3 di 30 rumah sakit besar di Korea. Daewoong menargetkan untuk meluncurkan obat baru tersebut pada tahun 2023.
Sebelumnya telah dilakukan uji klinis fase 2 pada lebih dari 200 penderita diabetes. Selama 12 minggu, partisipan dengan kontrol glikemik tidak memadai yang mendapatkan Enavogliflozin mengalami penurunan kadar HbA1c yang signifikan, dibandingkan dengan plasebo mulai pada minggu ke-4.
Tercatat pula terjadi penurunan HbA1c sekitar 0,5% pada 72% pasien dengan Enavogliflozin pada minggu ke-12, dibandingkan pasien yang menggunakan penghambat SGLT-2 lainnya.
Jumlah pasien dengan infeksi genital dan infeksi saluran kemih – yang merupakan dua efek samping yang dapat terjadi saat menggunakan penghambat SGLT-2 – hanya sekirar 2%. Angka tersebut secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan 5-10% pada obat penghambat SGLT-2 lain.
Hasil uji klinis fase 2 tersebut telah dipresentasikan pada International Congress of Diabetes and Metabolism 2020, di Korea, September 2020 lalu.
Efek samping
Efek samping yang tercatat pada pemakaian obat jenis penghambat SGLT-2 termasuk hipotensi, ketoasidosis, gangguan ginjal, dan infeksi saluran kemih. Infeksi jamur di area genital dan peningkatan LDL kolesterol juga tercatat mungkin terjadi.
Obat inhibitor SGLT-2 juga bisa menyebabkan infeksi saluran kemih dan genital dan peningkatan buang air kecil karena peningkatan pembuangan gula. (jie)