Harapan besar akan vaksin COVID-19 untuk segera bisa didapatkan akhir tahun ini terlihat jelas dan dapat dimengerti. Namun ada risiko dengan pengembangan vaksin yang dipercepat, tidak sedikit di antaranya adalah risiko terkait keamanan vaksin itu sendiri.
Mempercepat pengembangan dan persetujuan kandidat vaksin dapat membuat kita semua terkena bahaya yang tidak perlu terkait vaksin. Walau uji praklinis untuk mengevaluasi potensi keamanan dan kemanjuran kandidat vaksin melibatkan ribuan subyek, belum tentu jumlah itu cukup besar atau berlangsung cukup lama untuk mengevaluasi keamanannya.
William A. Haseltine, PhD, profesor di Harvard Medical School, AS, menjelaskan ada beberapa risiko yang dihadapi. Alih-alih melindungi, beberapa vaksin justru memperburuk risiko infeksi. Ini terkait fenomena yang disebut peningkatan ketergantungan antibodi (antibody-dependent enhancement / ADE).
“ADE telah diamati dalam upaya pengembangan vaksin virus corona sebelumnya,” ujar ilmuwan dibidang HIV/AIDS dan gen manusia itu. “Sebagai pertimbangan, antibodi khas ADE terdeteksi dalam darah beberapa pasien COVID-19.”
Ia menambahkan, kekhawatiran tersebut nyata. Berkaca pada kasus Dengavxia – vaksin virus dengue – di tahun 2016, justru meningkatkan rawat inap bagi anak-anak yang mendapatkan vaksin.
Efikasi vaksin tidak sama
Dilansir dari Scientific American, Prof. Haseltine menjelaskan dengan sedikitnya pengetahuan tentang generasi pertama vaksin COVID-19 ini memicu pertanyaan terkait kemampuan vaksin melindungi dari infeksi.
“Kami tahu semua kandidat vaksin yang diuji hingga saat ini pada primata gagal melindungi monyet dari infeksi saluran hidung. Kegagalan untuk melindungi sepenuhnya dari infeksi mirip dengan percobaan pada virus corona mematikan lainnya, yang menyebabkan SARS dan MERS,” jelasnya.
Sebagai catatan, setidaknya beberapa kandidat vaksin memang meningkatkan respons imun yang signifikan. Namun belum tentu hal yang sama terjadi pada manusia, walau monyet tidak sakit parah, atau terancam jiwanya, bahkan saat ia memiliki jumlah virus yang tinggi di hidung, paru-paru secara bersamaan.
“Karena banyak gejala COVID-19 yang paling serius tidak muncul sampai akhir perjalanan penyakit, kadang 4-5 minggu setelah terpapar. Ada kemungkinan bahwa kita tidak cukup waktu untuk menilai kemanjuran vaksin baru, bahkan dengan standar penilaian yang lebih rendah,” imbuhnya.
Belum tentu bermanfaat untuk lansia
Vaksin COVID-19 yang efektif sekalipun tetap punya kemungkinan menjadi tidak merespons baik untuk lansia (60 tahun ke atas). Semakin tua usia, semakin rendah kemampuan tubuh merespon vaksin.
“Resistensi vaksin dimulai sejak usia 30 tahunan, dan semakin lama semakin kuat. Itu sangat mengganggu kerena lansia adalah populasi yang paling berisiko. Vaksinasi lansia kadang berhasil dengan pemberian dosis berulang dan dengan meningkatkan potensi vaksin lewat terapi adjuvant (tambahan). Tetapi adjuvant ini bisa sangat berisiko untuk orang yang sangat tua,” terangnya.
Obat antivirus
Prof. Haseltine melanjutkan, bila lebih baik menunggu vaksin yang aman untuk semua kelompok risiko, terutama saat ini sudah diketahui solusi yang efektif.
“Kita sudah memiliki pengalaman dari negara-negara di Asia bahwa epidemi bisa dihentikan dengan langkah-langkah dasar kesehatan masyarakat, termasuk tes yang luas, contact tracing dan karantina terkontrol – tidak harus di rumah sakit, tetapi di rumah sendiri atau di lingkungan hotel. Upaya ini saja dapat menurunkan infeksi baru menjadi hampir nol hanya dalam beberapa minggu,” urainya.
Sebagai tambahan, Ia percaya sangat mungkin melindungi kelompok paling berisiko terpapar virus corona dengan kombinasi obat antibodi monoclonal atau antivirus yang efektif. Obat-obat tersebut bisa mengobati mereka yang sakit dan mencegah infeksi lebih lanjut.
“Selain mengejar vaksin dalam jangka waktu yang realistis, kita juga harus mendukung solusi medis lain yang secara historis jauh lebih cepat dan aman,” pungkasnya. (jie)