Diagnosis yang cepat dan akurat merupakan kunci untuk mengendalikan pandemi COVID-19. UGM mengembangkan alat deteksi virus corona berdasarkan hembusan napas. Alat ini diberi nama GeNose. GeNose akan dikenal sebagai teknologi pengendus COVID-19.
Dalam pertukaran gas di alveoli paru-paru, karbon dioksida dilepaskan dan oksigen diambil dari udara yang dihirup. Pertukaran ini juga berlaku untuk metabolit yang mudah menguap yang diproduksi tubuh atau paru-paru secara langsung.
Berdasarkan mekanisme ini peneliti mencoba untuk medeteksi biomarker yang mudah menguap dalam hembusan napas yang merupakan indikasi suatu penyakit, atau respons terhadap perawatan farmakologis.
Dikutip dari laman ugm.ac.id, GeNose bekerja secara cepat mendeteksi volatile organic compound (VOC) yang terbentuk karena adanya infeksi COVID-19 yang keluar bersama hembusan napas seseorang.
GeNose diklaim memiliki sensitivitas tinggi dan berbiaya rendah. Alat ini menjadi yang pertama yang terhubung dengan cloud computing untuk mendapatkan hasil diagnosis secara real time (seketika).
Napas orang diambil diindera melalui sensor-sensor dan kemudian diolah datanya dengan bantuan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) untuk pendeteksian dan pengambilan keputusan. Selain unsur kecepatan dan keakurasian, alat tersebut didesain agar mudah dioperasikan oleh seseorang secara mandiri dan efisien.
Hasil uji hembusan napas menggunakan alat ini tidak membutuhkan waktu lama, dalam waktu kurang dari dua menit sudah mampu mendeteksi seseorang negatif atau positif COVID-19.
Dr. Eng. Kuwat Triyana, MSi, Ketua Tim Inventor Peneliti UGM menjelaskan, jika sebelumnya GeNose membutuhkan waktu sekitar 3 menit, “Saat uji di BIN, sudah turun menjadi 80 detik,” katanya dalam konferensi pers September 2020 lalu.
Uji kalibrasi sudah dilakukan dengan 600 sampel data valid di RS Bhayangkara Polda Yogyakarta, dan RS Khusus COVID-19 Bambanglipuro Yogyakarta, hasilnya menunjukan tingkat akurasi 97%. Kini GeNose sedang bersiap memasuki uji diagnostik (uji klinis) di sembilan rumah sakit di Indonesia.
Dr. Dian Kesumapramudya Nurputra, SpA, MSc, PhD, salah satu peneliti mengatakan, “Setelah uji diagnostik dan dipresentasikan di Kementerian Kesehatan, kemudian surat kelayakan uji fungsi alat ini sudah keluar dan sudah di-OK-kan oleh komite etik, maka sekitar pertengah November 2020, sudah bisa produki massal.”
Sudah diteliti di China
Sebelumnya penelitian skala kecil tentang deteksi COVID-19 menggunakan hembusan napas sudah dilakukan di China.
Dalam jurnal online MedRxiv peneliti melaporkan adanya volatile organic compound berupa etil butanoat (ethyl butanoate) yang lebih tinggi pada hembusan napas pasien COVID-19, dibandingkan kelompok kontrol / petugas kesehatan yang sehat, dan pasien kanker paru.
Sebaliknya VOC berupa butyraldehyde dan isopropanol (penanda inaktivasi virus corona yang efisien) secara signifikan lebih tinggi untuk infeksi saluran napas non-COVID-19, daripada COVID-19 dan pasien kanker paru.
Isopropanol yang keluar dari hembusan napas pasien COVID-19 sangat bervariasi, dengan perbedaan bisa 100 kali lipat. Pasien COVID-19 memiliki kadar aseton yang lebih rendah di banding subyek lain, kecuali pasien kanker paru.
Peneliti menyimpulkan, “Pemantauan etil butanoat, butyraldehyde dan isopropanol dapat memberikan dukungan yang cukup besar dalam skrining COVID-19 secara cepat, dan memperingatkan keberadaan pasien COVID-19 di lingkungan tertentu.” (jie)