Hingga kini jumlah kasus meninggal akibat COVID-19 secara global mencapai lebih dari 1 juta, dan tercatat lebih dari 34 juta orang yang terinfeksi virus SARS-CoV-2 ini. Pemahaman yang keliru tentang kondisi ini menyebabkan korban yang terus bertambah. Pakar menyatakan COVID-19 bukanlah pandemi, tetapi gabungan dua epidemi SARS-CoV-2 dan penyakit tidak menular. Menjadikan penderita penyakit kronis (tidak menular) yang kemudian terinfeksi SARS-CoV-2 adalah kelompok yang paling berisiko.
Prof. Richard C Horton, Editor-in-Chief jurnal The Lancet, menjelaskan walau ini adalah sesuatu yang paradox, tetapi COVID-19 bukanlah pandemi yang sesungguhnya, melainkan gabungan dua epidemi : virus corona baru dan epidemi penyakit tidak menular.
“Ada sintesis antara COVID-19 dan penyakit tidak menular, dan ketika keduanya berpotongan, saat mereka bergabung, itulah yang menyebabkan kematian, “ katanya dalam pertemuan tahunan FICCI Heal 2020 di India secara virtual.
Orang dengan penyakit kronis – misalnya diabetes, hipertensi, stroke, gangguan paru atau gangguan fungsi ginjal - , yang tertular virus ini menjadi sangat berisiko. Selain itu, ketimpangan ekonomi akan memperburuk disparitas dalam masyarakat.
Prof. Horton menegaskan COVID-19 adalah yang disebut "sindrom" atau sintesis epidemi, “Dan itu perbedaan penting karena solusinya terletak pada penanganan virus, penyakit kronis, ketidaksetaraan, dan kemiskinan di masyarakat kita. Ini adalah tantangan yang sangat berbeda dari yang telah dijelaskan selama ini.”
Gabungan dua epidemi ini menyebabkan sains berperan sangat penting, tidak hanya untuk memahami sindrom ini, tetapi juga dalam memandu langkah-langkah yang harus dilakukan.
Pada 24 Januari 2020, Lancet menerbitkan makalah pertama yang menggambarkan COVID-19. Meskipun masih banyak yang harus dipelajari, sekarang para ilmuwan dan masyarakat tahu banyak tentang penularan penyakit, virus itu sendiri, komplikasi penyakit, pengendaliannya, risiko, diagnosis dan pengobatannya, serta bagaimana kita mencegahnya.
“Apa yang sekarang sangat penting untuk dipahami adalah bahwa ketika ekonomi kita terpukul, sains juga ikut terpukul,” imbuhnya.
“Jadi, sangat penting bahwa saat kita bergerak maju, pemerintah melakukan semua yang mereka bisa untuk melindungi kemampuan mereka menghasilkan pengetahuan baru, karena pengetahuan itulah yang akan bertindak sebagai pelindung bagi masyarakat di masa depan.”
Vaksin tidak menyelesaikan semua masalah
Saat ini sekitar 140 calon vaksin COVID-19 sedang diujicoba di seluruh dunia ; sembilan di antaranya sudah pada uji klinis fase 3.
“Saya harus menyimpulkan bahwa, sampai hari ini belum ada end game (akhir permainan) karena virus itu masih ada bersama kita. Itu endemik. Dan tujuannya (pengendalian virus) adalah menjaga transmisi agar nilai R kurang dari satu,” tukas Prof. Horton.
Sebagai informasi nilai R atau RO merujuk pada jumlah rata-rata satu orang yang terinfeksi dapat menularkan virus COVID-19 ke orang lain. Misalnya, bila nilai R tiga, artinya, setiap orang yang sakit akan menularkan penyakit kepada 3 orang lainnya.
“Ketika vaksin datang, akan membantu, tetapi tidak akan 100% menghapus virus di komunitas kita,” tegasnya. “Vaksin tidak bisa menjadi peluru ajaib, tidak ada vaksin yang 100% efektif, atau 100% aman, atau 100% digunakan oleh semua orang di dunia.”
Apa yang harus dilakukan?
Sebagai gabungan dua epidemi, Prof. Horton menambahkan, pemerintah harus menanggapinya sebagai sindrom (kumpulan berbagai gejala penyakit). Yakni dengan fokus pada virus, sekaligus pada kesehatan umum masyarakat, dan mengatasi ketidaksetaraan. (jie)