Sebagaimana sudah diberitakan bila pemprov DKI Jakarta akan kembali melakukan PSBB penuh pekan depan. Ini semua didasari angka penularan COVID-19 yang masih tinggi, dan ketidakpatuhan masyarakat menerapkan 3 M. Dokter menganalisa kenapa masyarakat kita sangat susah diminta memakai masker.
Di seluruh dunia 3 M (memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan) merupakan protokol kesehatan paling dasar untuk mencegah penularan SARS-CoV-2 dan mengerem laju pandemi. Tetapi faktanya di kanan-kiri kita masih banyak orang yang tidak mengindahkannya.
Dr. Sonny Harry B. Harmadi, Ketua Bidang Perubahan Perilaku STPC19 menjelaskan, ada perilaku dan pemahaman yang salah berhubungan dengan mamakai masker. “Masker dipakai saat diam dan justru dibuka ketika berbicara. Padahal droplet itu menyebar/keluar saat kita bicara,” katanya dalam perbincangan di kanal YouTube BNPB, Kamis (10/9/2020).
Menurutnya ini disebabkan karena orang terbiasa ramah, menyapa dengan tampak tersenyum. Sebaliknya dengan memakai masker menjadikan tidak terlihat ramah, tidak telihat siapa yang menyapa atau tidak terlihat bila tersenyum.
“Ini membuat konsisten memakai masker itu sulit,” tegas dr. Sonny.
Masalah lain adalah perilaku yang keliru saat memakai masker. Dr. Vito Damay, SpJP(K), MKes, FIHA, dari Ikatan Dokter Indonesia menambahkan, ini biasanya terjadi saat memperbaiki masker.
“Kebanyakan orang tidak cuci tangan dulu. Memperbaiki maskernya pun dari depan sehingga ujung jarinya yang kotor masuk ke area dalam masker. Padahal yang benar memperbaiki masker dari telinga,” ungkap dr. Vito.
Selanjutnya tentang menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Dianggap sulit dilakukan karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang terbiasa berkumpul, bertemu dan menyapa.
“Jarak juga menunjukkan kedekatan kita dengan orang lain. Sekarang kita diminta untuk tampak tidak ramah dan menjaga jarak,” imbuh dr. Sonny.
Demikian pula dengan anjuran untuk sesering mungkin mencuci tangan. Ini berkebalikan dengan kampanye menghemat air untuk menyelamatkan bumi yang bertahun-tahun kita dengar.
“Dari ketiga hal tersebut, data menyebutkan bila menjaga jarak adalah yang paling sulit dilakukan. Karena lingkungan rumah belum tentu memungkinkan. Rumah yang kecil, tetangga yang rapat atau pemukiman sangat padat,” kata dr. Sonny.
“Tetapi kalaupun tidak bisa menjaga jarak, hanya dengan memakai masker saja sudah menurunkan risiko penularan.”
Lantas apa yang harus dilakukan?
Membudayakan memakai masker ternyata tidak gampang. Pengetahuan tentang pentingnya masker tidak cukup membuat masyarakat kita mau memakainya secara konsisten.
“Ini adalah perjuangan. Dan kita harus bilang dari diri sendiri kalau pakai masker itu enak. Sebaliknya kalau secara psikologis kita bilang kalau pakai masker itu tidak enak, maka jadinya juga tidak enak.”
“Seperti halnya orang yang terbiasa memakai sepatu. Saat ia tidak pakai sepatu akan bilang tidak enak. Demikian pula sebaliknya. Jadi semua terpulang dari psikologis kita,” papar dr. Sonny.
Masyarakat dituntut untuk membiasakan dan menyadari bila memakai masker dan menjaga jarak adalah perilaku yang baik selama pandemi.
Edukasi barulah sebatas pengetahuan. Yang lebih penting adalah internalisasi nilai tersebut, dan akhirnya bisa menjadi kebiasaan. “Itu bisa terjadi kalau dilakukan berulang-ulang. Memakai masker itu memberikan perlindungan. (Kita harus) merasa beruntung mendapat perlindungan dan bisa melindungi orang lain,” pungkas dr. Sonny. (jie)