Penderita serangan jantung lebih mungkin meninggal selama pandemi COVID-19 karena banyak yang takut untuk segera pergi ke rumah sakit setelah gejala muncul. Perubahan gaya hidup dan peningkatan stres selama pandemi meningkatkan risiko serangan jantung pada beberapa orang.
Dalam riset yang dipublikasikan bulan ini di Jounal of the American Medical Association (JAMA) Cardiology terlihat bahwa risiko mengabaikan gejala serangan jantung pada akhirnya berdampak pada kesehatan si pasien.
Riset ini menitikberatkan pada kejadian serangan jantung selama pandemi. Studi di Oregon dan Washington – dua area dengan kasus COVID-19 besar di AS - ini menemukan bila mereka yang menderita serangan jantung berat dua kali lipat lebih berisiko meninggal selama pandemi ini, dibandingkan tahun lalu.
Studi ini mengamati 15.244 pasien rawat inap; 14.724 di antaranya mengalami serangan jantung akut (acute myocardial infarction / AMI). Mereka memperhatikan jumlah pasien rawat inap mulai berkurang – sekitar 19% - selama periode 5 minggu, mulai 23 Februari 2020 (dua minggu sebelum WHO mengumumkan virus corona sebagai pandemi).
Mereka melaporkan bahwa rawat inap untuk serangan jantung mulai meningkat lagi sekitar tanggal 29 Maret. Para peneliti mencatat orang-orang tersebut berusia 1 - 3 tahun lebih muda, memiliki jangka waktu rawat yang lebih pendek, dan kemungkinan besar akan dipulangkan.
Secara keseluruhan, peneliti menyimpulkan bahwa seseorang 2,4 kali lebih mungkin meninggal akibat serangan jantung bila dibandingkan dengan masa sebelum pandemi. Mungkin karena mereka cenderung tidak dirawat di rumah sakit.
Gaya hidup dan stres
Anjuran untuk lebih banyak di rumah dan menghindari kerumunan selama pandemi bisa menciptakan rutinitas yang tidak sehat dan meningkatkan risiko serangan jantung. Ini termasuk diet tidak sehat, kurang aktivitas fisik, atau menjadi lebih sering mengonsumsi alkohol.
Selain itu muncul stres baru akibat usaha menghindari kontak dengan virus COVID-19 dalam aktivitas harian, seperti saat berbelanja, atau melakukan urusan lain.
Bahkan stres karena tidak bisa bertemu fisik dengan orang-orang tercinta bisa yang berdampak buruk untuk jantung. Penelitian menunjukkan reaksi peradangan akibat stres dan depresi meningkatkan risiko serangan jantung.
Sebagai tambahan, beberapa gejala serangan jantung, seperti nyeri dada dan tubuh bagian atas, berkeringat, mual, kelelahan atau kesulitan bernapas, juga mirip dengan gejala COVID-19.
Dilansir dari Health Line, Dr Nicole Weinberg, ahli jantung di Providence Saint John’s Health Center, California, AS, mengatakan bahkan bila serangan jantung tidak langsung membunuh Anda, menunda pengobatan dapat menyebabkan konsekuensi yang berbahaya, termasuk menyebabkan gagal jantung kongestif (kelainan otot jantung yang mengakibatkan jantung tidak bisa memompa darah yang dibutuhkan tubuh).
“Jika Anda Khawatir akan mengalami gejala serangan jantung, kenakan masker dan periksa ke ruang gawat darurat atau fasilitas perawatan darurat jantung.
“Seringkali, pengujian cepat dapat menentukan apakah Anda memerlukan perhatian medis lebih lanjut atau dapat langsung pulang,” kata Weinberg. (jie)
Baca juga : Kenali Tanda Serangan Jantung Satu Bulan Lebih Awal