Tenaga kesehatan (nakes) merupakan yang paling rentan untuk terinfeksi virus COVID-19. Mirisnya, data menyatakan jumlah kematian nakes selama wabah COVI-19 terus bertambah. Para relawan termasuk mereka yang ‘nekat’ berada di garda terdepan selama pandemi ini.
Menurut dr. Adib Khumaidi, SpOT, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dilansir dari ABC, angka kematian nakes di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara, bahkan dunia.
"Secara persentase, di dunia kita termasuk yang paling tinggi, karena angka negara-negara lain hanya sekitar 1%. Apalagi di ASEAN, kita paling tinggi," ucap dr. Adib.
Tingkat kematian tenaga kesehatan Indonesia mencapai 6,5%. Hal tersebut berarti setiap 100 kematian ada sekitar 6 – 7 nakes yang meninggal dunia. Ini jauh dibandingkan dengan Amerika Serikat yang hanya 0,16% dan Inggris (0,5%).
Para relawan merupakan bagian dari para tenaga kesehatan yang ‘bertatap muka’ langsung dengan virus corona ini. Banyak cerita tentang bagaimana perjuangan mereka di garda terdepan. Dikutip dari laman resmi IDI cerita tersebut diungkapkan oleh dr. Hartati B. Bangsa dan dr. Rani Septiyani.
Dr. Hartati B. Bangsa (Koordinator Medis RSDC Wisma Atlet)
“Saya ingat betul, saat diresmikan tanggal 23 Maret 2020, pukul 18.00 WIB, sekitar 250 pasien mengantre untuk diberikan layanan, hari kedua sebanyak 300 pasien. Yang paling berat adalah menguatkan mental pasien sementara mental kami sendiri down,” kenang dr. Tati.
Saat itu, jumlah relawan masih sedikit, terbagi dalam 5 tim. Setiap kelompok berjumlah 5 – 6 orang. “Bisa dibilang saya adalah relawan dokter sipil pertama yang bergabung bersama personil TNI dan Polri di RSDC wisma atlet.”
Alat pelindung diri (APD) dipakai bukan hanya 8 jam, tapi sempat sampai 16 jam, karena kondisi pasien tidak berhenti masuk dan harus melayani bila ada rujukan.
“Berat badan turun sampai 8 kg dalam 10 hari. Bagaimana tidak, saat itu 1 dokter bisa mencover 5 – 10 lantai. Yang setiap lantai terisi hampir 50 – 60 pasien. Jika ditanya perasaan saat itu, ada rasa was – was, gelisah dan ketakutan, tapi tetap semangat bekerja. Campur aduk.
“Saya menerima hampir 200 panggilan telepon perhari dari keluarga, teman dan kerabat yang ikut mengkhawatirkan keadaan saya. Terutama ibu,” katanya.
Dr. Tati tidak terlalu ambil pusing dengan label ‘pahlawan’ yang disematkan bagi relawan. Baginya ini adalah panggilan jiwa dan jalan yang tetap akan dilakoni.
“Bagi kami yang berjuang di garis akhir masa pandemik ini, keluar dari red zone dalam keadaan hidup atau tidak terinfeksi COVID-19 saja kami sudah cukup bersyukur “ jelasnya. “Pesan yang selalu saya sampaikan : tolong teman – teman pakai APD lengkap dan dekontaminasi ketat. Hanya ini yang bisa kita upayakan.”
Dr. Rani Septiyani
Waktu itu dr. Rani dan keluarga dinyatakan positif pertengahan Maret 2020, saat itu rapid test belum ada.
“Saat saya ke Dinkes sekitar rumah untuk dilakukan swab untuk keluarga saya, namun dikatakan reagen habis. Awalnya saya memahami karena saat itu serba sulit. Namun sampai detik ini tidak ada tindak lanjut untuk keluarga. Saat ini keluarga saya memang sudah tidak bergejala lagi,” katanya.
Dr. Rani melakukan 6 kali tes swab (4 kali positif, 2 kali di akhir April negatif). Saat ditetapkan positif, ia merasa ketakutan telebih sang kakak sedang hamil, takut menulari. Ia juga mengalami anosmia (kehilangan kemampuan mencium bau) selama 10 hari.
Setelah dinyatakan negatif dan bekerja kembali, dr. Rani menghadapi banyak pasien yang marah, tidak terima dan menolak. Ia pun kembali diisolasi di rumah selama 1 bulan.
“Yang ingin disampaikan ke masyarakat adalah untuk masalah COVID-19 ini nyata. Saya sendiri mengalami gejalanya. Saya ingin menyampaikan ke masyarakat jika terkena jangan takut datangi tim medis.
“Dan kalau positif ikuti prosedur yang ada. Karena kami hanya mengingkan kesembuhan masyarakat, dan kalau bisa, tidak menularkan ke masyarakat lain, terutama masyarakat rentan.
“Melalui ini juga kami pertanyakan bagaimana perlindungan untuk tim medis? Karena dilaporkan adanya kasus reinfeksi, apalagi kan mal-mal sudah buka? Pemerintah sebaiknya harus lebih sigap terkait ini,” tutur dr. Rani. (jie)