Hingga Rabu (1/7/2020) tercatat ada 10.592.660 kasus COVID-19 di seluruh dunia, menyebabkan kematian hingga 514.082 kasus. Berdasarkan data Worldometer, tercatat kasus sembuh sebanyak 5.801.646 orang. Tetapi di saat yang sama ada laporan tentang efek samping jangka panjang COVID-19 yang dialami penyintasnya.
William Petri, MD, PhD, profesor dan ahli mikrobiologi dari University of Virginia, AS, menjelaskan banyak informasi tersebut telah diperoleh dari penelitian yang dimulai sejak wabah SARS tahun 2003 silam.
“Sehingga penting bagi mereka yang sudah pulih dan keluarga, atau teman-teman mereka untuk tahu apa yang harus diantisipasi,” papar Prof. Petri, dilansir dari laman sciencealert.com.
Kebingungan atau sindrom pascaperawatan intensif
Mereka yang mengalami kondisi serius dan dirawat di ICU, biasanya mengalami delirium. Ditunjukkan dengan kebingungan, kesulitan untuk memusatkan perhatian, berkurangnya kesadaran orang, tempat dan waktu, bahkan ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain.
“Delirium bukan komplikasi spesifik akibat COVID-19. Ia komplikasi yang umum terjadi pada orang setelah diperawat di ICU,” kata Prof. Petri. “Beberapa studi menyatakan sekitar 75% pasien ICU mengalami delirium. Permasalahannya tidak hanya kebingungan selama di rumah sakit, tetapi juga beberapa bulan setelahnya.”
Misalnya, 3-9 bulan setelah keluar dari ICU beberapa orang masih mengalami kesulitan ingatan jangka pendek, kemampuan memahami tulisan dan perkataan, atau mempelajari hal-hal baru. Beberapa bahkan mengeluhkan kesulitan mengingat hari dan tanggal.
Gejala sesak napas kronis
Pasien COVID-19 yang parah bisa mengalami pneumonia atau sindrom gangguan pernapasan akut (acute respiratory distress syndrome/ARDS).
“Dokter mungkin tidak mengikuti cukup lama pasien COVID-19 untuk mengetahui adakah gangguan napas,” imbuh Prof. Petri. “Tetapi riset pada tenaga kesehatan yang terkena SARS tahun 2003, yang juga disebabkan oleh virus corona, sangat meyakinkan. Kerusakan paru biasanya baru sembuh dalam dua tahun setelah sakit.”
Indera pencium dan pengecap
Sebagian besar pasien COVID-19 mengalami kehilangan kemampuan mencium dan pengecapnya. Hanya ¼ pasien yang tercatat mendapatkan perbaikan dalam seminggu, tetapi sebagian besar lainnya pulih dalam 10 hari.
Sindrom kelelahan pasca-infeksi
“Sekali lagi mungkin masih terlalu dini untuk diungkapkan, dalam wabah SARS (2003) hampir separuh dari penyintas yang diwawancara mengatakan selama 3 tahun setelah infeksi mengeluhkan kelelahan,” kata Prof. Petri.
Penggumpalan darah
Data menyebutkan ¼ pasien COVID-19 yang kritis mengalami penggumpalan/pembekuan darah. Ini bisa menjadi masalah serius dalam jangka panjang bila gumpalan tersebut terlepas dan menyumbat paru-paru (pulmonary embolism), atau stroke (bila menyumbat pembuluh darah otak).
Untuk mencegah terjadinya penggumpalan darah, dokter memberikan obat pengencer darah bila terjadi peningkatan konsentrasi D-dimer, yang merupakan bagian fibrin (protein yang membuat bekuan darah).
Jantung
Peradangan otot jantung – disebut miokarditis atau kardiomiopati- diketahui terjadi pada sepertiga pasien COVID-19 yang berat.
Aritmia (gangguan irama jantung) juga terlihat. Tetapi belum diketahui apakah ini akibat infeksi langsung di organ jantung atau stres sekunder yang disebabkan oleh respons peradangan terhadap infeksi.
Diabetes
Penderita diabetes diketahui berisiko mengalami infeksi COVID-19 yang lebih berat. Tetapi peningkatan glukosa juga terlihat di kasus COVID-19 yang parah pada beberapa pasien tanpa riwayat diabetes sebelumnya.
“Karena virus berinteraksi dengan reseptor ACE2 pada sel manusia, masuk akal bila perubahan aktivitas ACE2 dapat menjadi salah satu penyebab diabetes pada pasien COVID-19.
“Berita baiknya adalah kita berharap bahwa kerusakan yang disebabkan oleh COVID-19 akan sembuh pada sebagian besar pasien,” pungkas Prof. Petri. (jie)