Dunia mulai berisiap menuju ke kehidupan normal baru selama pandemi COVID-19. Namun di satu sisi Organisasi Kesehatan Dunia justru mengubah anjuran tentang pemakaian masker di area publik.
Hari ini (Senin 8/6/2020) di masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi aktivitas perkantoran dan perdagangan di Ibu Kota mulai ‘menggeliat’ hidup kembali. Jalanan Ibu kota sudah mulai terlihat padat, antrean kembali terjadi di stasiun-stasiun yang hendak menuju ke Jakarta.
Namun beberapa hari lalu WHO merubah anjuran pemakaian masker, mengatakan harus selalu dipakai di area publik, saat tidak mungkin melakukan praktik social distancing, untuk membantu menghentikan penyebaran virus corona.
Organisasi global tersebut mengatakan ada bukti baru yang menunjukkan bila memakai masker setiap saat di area publik memberikan perlindungan dari potensi paparan virus lewat droplet (percikan partikel cairan saat bicara, tertawa, batuk dan bersin).
Bahkan di beberapa negara mulai merekomendasikan memakai face shield (perisai wajah) ketika berada di luar rumah. Pemerintah Singapura membekali murid dan guru dengan face shield saat masuk sekolah Juni ini. Aturan serupa juga diterapkan di Philadelphia dan California AS, saat kegiatan belajar mengajar dimulai dalam waktu dekat.
Sebelumnya WHO berpendapat tidak cukup bukti sehingga mengharuskan orang sehat memakai masker. Namun demikian, direktur jenderal WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, “Mengingat bukti yang berkembang, WHO menyarankan bahwa pemerintah harus mendorong masyarakat umum untuk memakai masker di mana terjadi penyebaran luas penyakit dan menjaga jarak fisik sulit dilakukan, seperti pada transportasi umum, di toko atau di lingkungan terbatas lainnya.”
Masker 3 lapis?
WHO mengatakan panduan (guideline) baru tersebut diterbitkan setelah adanya penelitian beberapa minggu terakhir.
Dr. Maria Van Kerkhove, tim ahli COVID-19 WHO mengatakan bila organisasi ini menyarankan masyarakat untuk memakai masker kain, bukan masker medis (bedah).
WHO menegaskan, masker kain harus terdiri dari 3 lapis material yang berbeda, untuk membuatnya efektif menangkis droplet yang berpotensi mengandung virus corona.
Namun mereka yang berusia 60 tahun ke atas, dan dengan penyakit penyerta harus menggunakan masker bedah di area di mana ada penularan dari masyarakat.
Di waktu yang sama, WHO menekankan bila masker wajah hanya salah satu dari serangkaian alat yang bisa mengurangi risiko penularan, sehingga jangan sampai orang berpikir hanya dengan memakai masker maka sudah tidak berisiko tertular virus corona.
“Hanya dengan memakai masker – tanpa pencegahan lain- tidak akan melindungi Anda dari COVID-19,” tegas Dr. Tedros.
Pelukah face shield?
Tameng wajah atau face shield merupakan salah satu alat pelindung diri (APD) yang telah lama digunakan oleh tenaga medis saat melakukan tindakan medis seperti operasi.
Menurut ahli penyakit menular dari University of Iowa, AS, Dr. Eli Perencevich, tameng wajah dapat mengurangi penularan infeksi penyakit, termasuk COVID-19, asal juga menerapkan prinsip social / physical distancing.
Dr. Perencevich mengungkapkan bila alat ini bisa melindungi masyarakat seperti petugas medis yang rentan tertular virus corona. Karena banyak orang yang tidak memakai masker dengan benar, sehingga face shield dianggap memberikan pencegahan penularan yang lebih efektif; face shield mampu menutupi seluruh bagian wajah, termasuk mata, hidung dan mulut.
Namun begitu alat ini tetap memiliki kekurangan, seperti memiliki celah dari bagian samping atau bawah – memungkinkan partikel virus yang kecil bisa masuk – dan tetap harus dibuka saat akan makan/ minum.
Menurut Bruce Polsky, MD, spesialis penyakit menular dari NYU Winthrop Hospital, AS, face shield sangat penting bagi petugas kesehatan untuk menekan risiko penyebaran penyakit saat harus menangani pasien penyakit menular dari jarak dekat.
Sehingga, “Face shield bukan pengganti masker, tapi perlindungan ekstra dari kontaminasi penyakit,” tegasnya. (jie)